Hasto Kristiyanto dan Kasusnya
Maqdir Ismail Tegaskan Usulannya dalam RKUHAP Bukan untuk Akomodir Hasto Kristiyanto
Maqdir memberikan usulan agar RKUHAP memuat aturan agar tersangka yang perkaranya belum diputuskan dalam pengadilan tidak perlu ditahan.
Penulis:
Rizki Sandi Saputra
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengacara sekaligus Praktisi Hukum Maqdir Ismail menegaskan, saran atau usulan dirinya terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru bukanlah untuk mengakomodir Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto.
Diketahui, Maqdir memberikan usulan agar RKUHAP memuat aturan agar tersangka yang perkaranya belum diputuskan dalam pengadilan tidak perlu ditahan.
Sementara, Maqdir sendiri merupakan salah satu anggota Kuasa Hukum Hasto.
"Tidak, tidak seperti itu. Karena saya berbicara tentang ini sudah, sudah sering sekali, dan banyak sekali yang saya sampaikan mengenai persoalan ini," kata Maqdir saat ditemui awak media usai rapat dengan Komisi III DPR RI di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).
Kata Maqdir, perihal dengan kasus Hasto, dirinya sebagai kuasa hukum meyakini kalau perkara tersebut adalah murni kriminalisasi.
Sehingga menurut dia, sejatinya Hasto justru tidak bisa ditahan dalam perkara yang melibatkan buronan KPK Harun Masiku.
"Untuk membuktikan bahwa tidak adanya kriminalisasi itu, seharusnya terhadap orang seperti Mas Hasto ini tidak dilakukan penahanan," kata dia.
Atas hal itu, Maqdir menegaskan, usulan yang disampaikan dirinya murni bukan untuk mengakomodir kepentingan Hasto.
Usulan yang disampaikan dirinya adalah karena alasan kemanusiaan yang berkaitan juga dengan banyaknya lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan yang over kapasitas.
"Tidak, tidak ada kaitannya dengan Mas Hasto. Tidak ada urusan Mas Hasto. Tetapi ini adalah urusannya dengan kemanusiaan. Itu yang pertama," kata dia.
"Kemudian yang kedua, yang kita bisa lihat sekarang ini, begitu banyak orang menjalani hukuman atau penahanan," tukas Maqdir.
Sebelumnya, Praktiksi Hukum Maqdir Ismail mengusulkan agar penahanan tersangka di dalam Hukum Acara Pidana Republik Indonesia harusnya dilakukan setelah adanya putusan pengadilan
Hal itu disampaikan Maqdir dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) membahas rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Komisi III.
Maqdir mulanya memberikan pandangan terkait dengan penerapan hukum di Belanda, tersangka tidak ditahan sebelum persidangan.
"Kalau saya tidak keliru salah satu antaranya yang cukup menarik dari Belanda itu sekarang ini sangat jarang orang ditahan di pra persidangan. Orang itu akan ditahan sesudah dia menjalani hukuman ketika sudah divonis," kata Maqdir di ruang Rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).
Dirinya lantas menilai kalau hukum di Belanda itu dapat menjadi catatan dalam menerapkan aturan hukum di Indonesia.
Terlebih kata dia, saat ini kebanyakan lembaga pemasyarakatan hingga rumah tahanan over kapasitas.
Dengan penahanan dilakukan terhadap tersangka setelah putusan pengadilan, maka hal itu bisa dianggap Maqdir, mengurangi beban di rumah tahanan.
"Kan ada beberapa orang teman mengatakan bahwa orang disusun seperti sarden. Ini menurut hemat saya ini merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi kalau ini dibiarkan," ujarnya.
"Jadi oleh karena itu, saatnya kita berpikir untuk membatasi waktu penahanan ini," sambungnya.
Atas hal itu, Maqdir dalam rapat memberikan usul agar penahanan di dalam mekanisme hukum di Indonesia dilakukan usai adanya putusan pengadilan.
Kecuali, kata dia, bagi para tersangka yang tidak jelas background pekerjaan hingga alamat tinggalnya.
"Saya mengusulkan dan saya lebih cenderung penahanan itu boleh dilakukan sesudah ada putusan kecuali, ada kecualian misalnya terhadap orang-orang yang tidak terang alamatnya tidak jelas pekerjaannya," jelasnya.
Kata Maqdir, apabila yang ditetapkan tersangka tersebut adalah tokoh politik dan memiliki pekerjaan yang jelas serta rumahnya diketahui, maka penahanan terhadap yang bersangkutan bisa dilakukan setelah adanya putusan persidangan.
"Orang-orang yang jelas tokoh politik, rumahnya jelas, gampang melihatnya, mestinya tidak perlu kita lakukan penahanan, apalagi belum ada bukti yang sangat substansial bahwa orang ini sudah melakukan kejahatan," ujar dia.
Tak cukup di situ, Maqdir juga mengusulkan dalam penetapan tersangka termasuk kasus korupsi, seharusnya tidak hanya didasarkan oleh pernyataan saksi dan ahli.
Menurutnya, penetapan tersangka harus juga ditetapkan bukti perbuatan yang merupakan delik inti dari pasal yang disangkakan.
"Yang paling banyak sekarang ini kalau bapak-bapak lihat perkara-perkara korupsi. Sekarang perkara korupsi itu cukup sekarang ini apakah yang dilakukan KPK atau Kejaksaan Agung cukup ada saksi dan ada ahli. Ahli ini bukan ahli keuangan negara, tapi ahli manajemen misalnya," ujarnya.
Padahal kata dia, banyak saksi terlebih saksi manajemen yang memberikan keterangan dari penyidik hanya berdasarkan dengan pengetahuan yang dimiliki.
"Ahli manajemen ini hanya ditanya apakah menurut dia kalau transaksi seperti ini akan merugikan atau tidak, manajemen ini bisa saja bilang 'ya ini kemungkinan rugi akan terjadi'," sambungnya.
Padahal, kata dia, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kerugian negara itu, harus nyata dan pasti.
Dia menilai bukti permulaan dalam menetapkan tersangka bukan didasari secara substansial.
"Kalau orang dituduh korupsi harus ada kerugian keuangan negara nya, minimal itu ada bukti permulaannya," tandas Maqdir.
Hasto Kristiyanto dan Kasusnya
Dasco Tegaskan Dukungan PDIP untuk Pemerintah Prabowo Tidak Terkait Amnesti Hasto Kristiyanto |
---|
Sosok Hasto Kristiyanto, Tersangka Suap Eks Komisioner KPU Diberi Amnesti Oleh Presiden Prabowo |
---|
Apa Itu Amnesti yang Didapat Hasto dari Presiden Prabowo? |
---|
Soal Banding Terhadap Vonis Hasto Kristiyanto, Ketua KPK: Tunggu Sampai Besok |
---|
KPK Ajukan Banding Atas Vonis 3,5 Tahun Penjara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.