Revisi UU TNI
Peneliti CSIS Nilai Pemerintahan Saat Ini Tampak Tidak Percaya pada Supremasi Sipil
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Nicky Fahrizal mengakui ada indikasi pemerintahan sipil tidak percaya diri.
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Muncul pertanyaan terkait perluasan peran TNI dalam kaitannya dengan ketidakpercayaan eksekutif dan legislatif terhadap sipil saat Media Briefing CSIS bertajuk Catatan Pasca-Pengesahan Revisi UU TNI: Aspek Legislasi dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan di Auditorium CSIS Tanah Abang Jakarta Pusat pada Senin (24/3/2025).
Menjawab pertanyaan tersebut, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Nicky Fahrizal mengakui ada indikasi pemerintahan sipil tidak percaya diri.
Baca juga: Revisi UU TNI Disahkan, Pengamat sebut Presiden Prabowo Harus Pastikan Demokrasi Tidak Mundur
Nicky mengatakan hal itu terlihat karena dengan segala otoritas yang diberikan Undang-Undang kepada pemerintahan sipil, akan tetapi pemerintahan sipil masih memiliki ketergantungan yang tinggi kepada institusi militer.
"Itu terjadi sejak zamannya presiden Jokowi sampai dengan hari ini," kata Nicky.
Baca juga: CSIS: Proses Pembahasan RUU TNI Tak Sesuai Standar, DPR dan Pemerintah Ugal-ugalan
"Hari ini sudah terbentuk mekanismenya sehingga permintaan terhadap personel militer itu tinggi, karena sudah disiapkan infrastrukturnya dari pemerintahan yang lalu. Jadi ketidakpercayaan diri (pemerintahan sipil) itu ada," lanjut dia.
Selain itu, menurutnya juga ada problem yang cukup fundamental di mana pemerintah hari ini tampak tidak percaya pada supremasi sipil termasuk birokrasi sipil.
Sehingga, kata dia, perwira-perwira atau prajurit militer diintegrasikan ke dalam birokrasi sipil.
Menurutnya ke depan hal itu akan menjadi permasalahan yang serius khususnya terhadap profesionalisme tentara.
Karena menurutnya tentara yang seharusnya menaruh perhatian pada dimensi pertahanan dan kemiliteran tetapi dipaksa untuk mengurus hal-hal yang seharusnya diurus oleh birokrasi sipil.
"Ini akan merusak meritokrasi, merusak profesionalisme tentara itu sendiri, dan ketiga akan merusak secara perlahan ruang publik sipil," ujar dia.
"Ujungnya nanti ketika itu tidak bisa dihentikan lagi, yang terjadi adalah suatu fase yang kita ketahui bersama yaitu otokrasi," lanjut dia.
Baca juga: Puluhan Massa Aksi Terluka saat Demo Tolak UU TNI di Malang: Ada yang Kepalanya Bocor, Gigi Retak
Selain itu, dalam konteks revisi UU TNI saat ini, ia mencatat, isu yang beredar di ruang publik bahwa revisi UU TNI adalah kembalinya dwifungsi ABRI atau dwifungsi militer.
Dwifungsi ABRI, ujar dia, adalah bagian dari militerisme.
Militerisme, lanjutnya, adalah ideologi atau paham yang menandakan suatu keyakinan bahwa pentingnya militer untuk mendominasi semua aspek sosial politik.
Hal tersebut, ucapnya, terjadi di masa Orde Baru.
"Sedangkan apa yang terjadi di revisi undang-undang TNI saat ini adalah bukan militerisme, melainkan militerisasi. Militerisasi adalah proses atau tindakan memperbesar peran militer sehingga ada peningkatan kendali militer di suatu dimensi, area, atau institusi, sisi tertentu. Itu yang terjadi hari ini," kata Nicky.
Menurut dia pintu masuk militerisasi cukup banyak dalam revisi UU TNI.
Ia mencontohkan, pasal mengenai Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam UU TNI baru terkait tugas TNI untuk membantu pemerintahan daerah.
Nicky mencatat, dalam penjelasan pasal tersebut termuat TNI bisa membantu pelaksanaan fungsi pemerintahan di dalam situasi atau kondisi yang membutuhkan sarana, alat, atau kemampuan TNI.
"Akan tetapi, kenyataannya, apabila kita lihat, perhatikan sosial media dalam beberapa hari yang lalu, kita bisa melihat ada perjanjian kerjasama TNI dengan Pemprov Jawa Barat, itu kita bisa melihat bahwa TNI itu bisa membantu mengelola yang namanya tata kelola sampah, penataan kawasan kumuh, listrik," ucap dia.
"Dan apabila kita juga lihat pemberitaan yang sama, Pemprov Palembang juga melakukan hal yang sama. Artinya militerisasi itu sudah terjadi di tingkat pemerintahan daerah. Dalam hal lain kita bisa melihat bahwa kendali militer itu akan semakin memuat di ruang sipil. Ini yang menjauh dari spirit reformasi TNI," ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandez memandang proses merit sistem dalam birokrasi sipil sudah terjadi.
Baca juga: DPR: UU TNI Baru Bisa Disosialisasikan Setelah Diteken oleh Presiden
Hal itu, ungkapnya, terlihat misalnya dari proses penentuan pejabat berdasarkan keahlian, kompetensi, dan kelayakan.
"Dan sebenarnya para birokrat kita itu menempuh jalur yang panjang untuk bisa mengisi jabatan yang dianggap strategis atau jabatan yang dianggap mereka punya kompetensi untuk mengisi itu," kata Arya.
"Prosesnya bisa bermasalah nanti dalam peraturan teknis baik pada 14 K/L yang bisa diisi perwira aktif maupun kementerian lain yang dimana perwiranya harus mundur. Kalau kita mengikuti proses yang seperti itu reformasi birokrasi kita mungkin akan jalan di tempat atau mundur ke belakang," ucap dia.
Revisi UU TNI
Ketua MK Tegur DPR Sebab Terlambat Menyampaikan Informasi Ahli dalam Sidang Uji Formil UU TNI |
---|
MK Minta Risalah Rapat DPR saat Bahas RUU TNI, Hakim: Kami Ingin Membaca Apa yang Diperdebatkan |
---|
Cerita Mahasiswa UI Penggugat UU TNI: Dicari Babinsa Hingga Medsos Diserang |
---|
Pakar Tegaskan Mahasiswa hingga Ibu Rumah Tangga Punya Legal Standing untuk Gugat UU TNI |
---|
Bivitri Susanti Soroti Tekanan Terhadap Mahasiswa Pemohon Uji Formil UU TNI: Kemunduruan Demokrasi |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.