Kamis, 28 Agustus 2025

Kasus Suap Ekspor CPO

Hakim Tipikor Terjerat Suap, Pengawasan MA dan KY Dipertanyakan: Ternyata Hakim Kita Bisa Dibeli

Kata Hinca, dengan kembali terjadinya penangkapan terhadap hakim telah memberikan sinyal kalau penegakan hukum di Indonesia bisa dibeli.

Tribunnews.com/Abdi Ryanda Shakti
SUAP VONIS LEPAS - Hakim Djuyamto setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap untuk vonis onslag atau lepas perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan menyoroti perihal kerja Mahkamah Agung RI (MA) dan Komisi Yudisial (KY). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan turut menyesalkan beberapa hakim tindak pidana korupsi (Tipikor) yang terjerat suap dalam perkara crude palm oil (CPO).

Kata Hinca, dengan kembali terjadinya penangkapan terhadap hakim telah memberikan sinyal kalau penegakan hukum di Indonesia bisa dibeli.

Baca juga: Hakim PN Jaksel Tersangka Kasus Suap, Anggota DPR: Pembinaan dan Pengawasan Hakim Masih Sangat Lemah

Diketahui, Kejaksaan Agung RI telah menetapkan tiga hakim yang terlibat kasus dugaan gratifikasi terkait dengan putusan lepas (onslag) perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor CPO, mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat, selanjutnya hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).

Tak hanya itu, sebelumnya Kejagung juga telah menetapkan M Arif Nuryanta (MAN) selaku Ketua PN Jakarta Selatan sebagai tersangka.

Baca juga: Deretan Mobil-Motor Mewah yang Disita di Kasus Suap Hakim Vonis Perkara Ekspor CPO

"Dan ini ketua pengadilan lagi yang nanganin kasus, seolah-olah berlanjut terus dari Surabaya kemarin, berlanjut, dua-duanya tentang suap, artinya ternyata hakim kita bisa dibeli. Kan gitu perspektif masyarakat," kata Hinca kepada awak media, Senin (14/4/2025).

Dengan adanya perkara ini, legislator dari Partai Demokrat tersebut, menyoroti perihal kerja Mahkamah Agung RI (MA) dan Komisi Yudisial (KY).

Menurut dia, kedua lembaga negara yang menaungi dan mengawasi integritas hakim tersebut tidak secara maksimal melakukan tugasnya.

Pasalnya kata Hinca, perkara demikian bukan pertama kali terjadi, bahkan belum lama perkara suap hakim juga terjadi di PN Surabaya.

"Saya menyesalkan Mahkamah Agung ini yang masih belum bisa secara maksimal menjaga integritas hakim, sekaligus mengkritik keras Komisi Yudisial yang mustinya melakukan pengawasan intens, artinya kalau dia bekerja keras mustinya ini tidak terjadi," ujar dia.

Lebih jauh, Komisi III DPR RI juga kata dia, akan menanyakan langsung kepada MA perihal dengan perkara-perkara yang melibatkan hakim ini.

Nantinya, Komisi III DPR RI akan memanggil MA untuk meminta penjelasan terkait dengan kerja-kerja pengawasan terhadap para hakim.

"Nanti saya akan pertanyakan, Komisi III DPR ketika memangil sekretaris mahkamah agung karena dia yang bisa kita panggil untuk dimana pengawasannya, dimana penjagaan integritas itu, seolah-olah lepas begitu saja dan mudah sekali dibeli putusannya itu, itu lampu merah," tandas dia.

Sebelumnya, dalam perkara suap vonis onslag ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) mulanya menetapkan empat orang sebagai tersangka.

Mereka adalah Muhammad Arif Nuryanta (MAN) yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dan WG selaku panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut). Serta MS dan AR yang berprofesi sebagai advokat.

"Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.

Abdul Qohar menjelaskan jika suap tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara korporasi sawit soal pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.

"Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN) diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah," ujar Abdul Qohar.

Baca juga: Hakim Anggota Kasus Tom Lembong Jadi Tersangka, PN Jakpus Umumkan Perubahan Komposisi Majelis

"Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, di mana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG," imbuhnya.

Putusan onslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu. Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp17 triliun.

Dalam perjalanannya, Kejagung juga menetapkan tiga orang lainnya sebagai tersangka. Ketiganya merupakan majelis hakim yang memberikan vonis onslag dalam perkara tersebut, yakni ASB, AM, dan DJU.

 

 

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan