Kamis, 28 Agustus 2025

Presidium FIB: Kebijakan RPL dalam Pendidikan Apoteker Merusak Tata Etik Profesi

Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) dinilai sebagai solusi kosmetik yang mengaburkan batas antara pendidikan vokasional dan profesional

|
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Erik S
Freepik
TOLAK RPL - Ilustrasi Presidium Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) menyampaikan penolakan tegas terhadap wacana penerapan Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) sebagai dasar penyelenggaraan pendidikan profesi apoteker yang dipermudah bagi lulusan Sarjana Farmasi ber-STR Vokasi.  

FIB merekomendasikan pola pendidikan “khusus” berbasis praktik (90 persen) dengan pendekatan hospital-based education sebagai opsi rasional dan efisien.

Baca juga: Profesi Setara Dokter, Apoteker Diminta Junjung Tinggi Kode Etik

Peserta tetap wajib mengikuti Uji Kompetensi Nasional dengan metode dan standar yang sama seperti peserta didik program profesi apoteker reguler.

Dalam skema ini, beban biaya pendidikan dapat ditekan karena kegiatan belajar terintegrasi dengan tempat praktik.

Penolakan Meluas dari Komunitas Apoteker

Data informal dari berbagai forum grup diskusi apoteker menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen responden menolak penyelenggaraan pendidikan profesi yang dipermudah melalui RPL.

Selain itu, tidak semua sarjana farmasi ber-str tenaga vokasi  —terutama ASN—berminat menjadi apoteker. Banyak dari mereka merasa cukup pada peran teknis karena beban tanggung jawab yang lebih ringan.

FIB menilai bahwa pendidikan profesi tidak bisa dijadikan instrumen rekayasa administratif untuk memperpanjang Surat Izin Praktik (SIP) teknis atau semata-mata menaikkan status.

Jika RPL digunakan dalam konteks jenjang vokasional, hal ini semestinya bersifat terminal sebagai tenaga keteknisan. Namun penerapannya di masa lalu, secara etik dan filosofis dalam jalur apoteker adalah bentuk penyimpangan kebijakan yang mendalam.

Penegasan Sikap

Presidium FIB menyerukan agar pemerintah dan institusi pendidikan tinggi kefarmasian tidak menjadikan RPL sebagai celah kebijakan yang merusak sistem profesi apoteker. Pendidikan profesi apoteker harus tetap dijaga sebagai gerbang pembentukan kompetensi dan etik profesi yang utuh.

“Jika kualitas layanan kefarmasian di Indonesia benar-benar ingin diperkuat, maka jalur profesi tidak boleh diobral. Justru semestinya, memprioritaskan mencetak apoteker yang unggul, untuk pelayanan kefarmasian dan obat-obatan yang bermutu nyata bagi masyarakat”  ujar Apt. Ismail.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan