Sabtu, 4 Oktober 2025

Kasus BLBI

Hardjuno Sebut Uji Materi Perppu PUPN Bisa Buka Lagi Kotak Pandora Kasus BLBI

Hardjuno Wiwoho menegaskan uji materi Perpu PUPN ini semestinya menjadi momentum untuk membuka kembali kotak pandora keseluruhan proses BLBI

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
istimewa
KASUS BLBI - Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengusaha sekaligus bankir yang juga pemilik Bank Centris Internasional Andri Tedjadharma secara resmi mengajukan judicial review atau uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Perpu Nomor 49 Prp Tahun 1960 selama ini kerap dijadikan pijakan hukum oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dalam proses penyitaan aset para obligor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menegaskan uji materi Perpu PUPN ini semestinya menjadi momentum untuk membuka kembali kotak pandora keseluruhan proses penanganan BLBI secara transparan dan objektif.

“Kita jangan buru-buru memposisikan perkara ini semata sebagai soal individu. Yang jauh lebih penting adalah menjadikan sidang ini sebagai pintu masuk untuk menelaah secara menyeluruh bagaimana negara dulu menangani BLBI—baik dari sisi kebijakan, pelaksanaan, maupun penegakan hukumnya,” ujar Hardjuno di Jakarta, Senin (9/6).

“Harapannya, uji materi ini dapat membuka tabir gelap BLBI,” terangng Hardjuno yang lama meneliti kasus BLBI ini.

Menurutnya, fakta-fakta yang muncul di persidangan—termasuk temuan audit dan dugaan kekeliruan penyaluran dana—harus dilihat secara serius dan diuji secara objektif.

Kandidat Doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini  menilai bahwa kasus BLBI terlalu lama diselimuti oleh kabut ketertutupan.

Padahal menyangkut kredibilitas institusi negara dalam menangani krisis keuangan.

“Jika memang ada prosedur yang tidak dijalankan secara benar, atau terdapat kekeliruan dalam penetapan tanggung jawab, maka negara harus mau mengoreksi. Tapi semua itu mesti dibuka melalui mekanisme hukum yang sahih, dan dilakukan secara menyeluruh, bukan sepotong-sepotong,” tegasnya.

Hardjuno menambahkan bahwa Perpu PUPN sendiri memang berasal dari masa yang berbeda dan patut dikaji ulang relevansinya dalam konteks hukum tata negara dan hak asasi manusia hari ini.

Namun demikian, ia menekankan bahwa perubahan hukum tidak boleh didasarkan pada tekanan kasus per kasus, melainkan melalui evaluasi sistemik.

“Perkara ini bukan sekadar gugatan perorangan. Ia menyentuh soal tata kelola negara, integritas hukum, dan bagaimana kita memahami keadilan dalam konteks kebijakan ekonomi negara. Karena itu, Mahkamah perlu membuka ruang seluas-luasnya untuk mengungkap fakta, bukan hanya menilai formalitas,” pungkasnya.

Sidang permohonan ini tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan menyita perhatian Majelis Hakim.

Beberapa hakim bahkan mempertanyakan mengapa peraturan yang sudah berusia lebih dari 60 tahun tersebut masih dijadikan dasar hukum, padahal tidak lagi sejalan dengan berbagai Undang-Undang yang berlaku dalam sistem hukum modern Indonesia.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved