Sabtu, 9 Agustus 2025

Koalisi Ojol dan Anggota DPR Tolak Konvensi ILO Soal Status Driver Ojek Online

Andi Kristiyanto, menyampaikan sikap tegas menolak intervensi lembaga internasional terhadap sistem kemitraan ojek online (ojol) di Indonesia.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Wahyu Aji
Tribunnews/Jeprima
DEMO OJOL - Pengemudi ojek online (ojol) menggelar aksi unjuk rasa di kawasan patung kuda, Jakarta Pusat, Selasa (20/5/2025). Andi Kristiyanto, menyampaikan sikap tegas menolak intervensi lembaga internasional terhadap sistem kemitraan ojol di Indonesia. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Koalisi Ojol Nasional (KON), Andi Kristiyanto, menyampaikan sikap tegas menolak intervensi lembaga internasional terhadap sistem kemitraan ojek online (ojol) di Indonesia.

Hal itu disampaikannya untuk menolak Konvensi ILO yang mengatur pekerja platform digital

Penolakan itu disampaikan sebagai respons atas pernyataan Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker, Indah Anggoro Putri, yang mewakili Menteri Ketenagakerjaan dalam forum ILO. 

Indonesia diketahui mendukung konvensi tersebut, yang dianggap KON bertentangan dengan realitas kemitraan ojol.

“ILO nggak ada urusannya dengan nasib ojol di Indonesia, karena ojol bukan pekerja dan bukan buruh. Kami tolak intervensi ILO,” ujar Andi dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (11/6/2025).

Andi menilai ada pihak-pihak tertentu yang berupaya mengarahkan opini publik agar ojol dianggap sebagai pekerja tetap. 

Dia meminta pemerintah dan DPR tidak terpengaruh oleh narasi yang dianggap ditunggangi kepentingan tertentu.

Dukungan terhadap posisi Koalisi Ojol juga datang dari anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Gerindra, Obon Tabroni

Ia menegaskan bahwa ojol bukan pekerja, melainkan mitra.

“Awalnya saya ragu, tapi setelah mendengarkan masukan dari Koalisi Ojol, saya sadar bahwa benar mereka bukan buruh. Mereka mitra,” kata Obon, yang kini tergabung dalam tim revisi UU Ketenagakerjaan.

Koalisi Ojol Nasional juga membacakan petisi berisi empat poin penolakan, termasuk menolak politisasi isu ojol, keberatan atas pemotongan 10 persen tanpa kajian, serta menolak pengakuan ojol sebagai pekerja tetap.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, menyebut dampaknya bisa merembet ke UMKM, layanan publik, hingga meningkatnya angka pengangguran.

Menurut Agung, jika reklasifikasi dipaksakan, hanya 10–30 persen mitra pengemudi yang bisa terserap sebagai karyawan. Sisanya, 70–90 persen, diprediksi akan kehilangan pekerjaan.

“Pemaksaan kebijakan ini dapat menyebabkan efek domino berupa menurunnya pendapatan jutaan UMKM, meningkatnya pengangguran, dan hilangnya kepercayaan investor,” kata Agung.

Agung menyebut industri pengantaran dan mobilitas digital disebut menyumbang hingga 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. 

Jika sistem kemitraan diganti total, kontribusi ini diperkirakan menurun drastis, dengan potensi kerugian mencapai Rp178 triliun.

Beberapa temuan dampak serupa juga terjadi di negara lain. Di Spanyol, setelah reklasifikasi, Uber memutus kemitraan dan Deliveroo hengkang dari pasar. Di Inggris dan AS, harga layanan naik dan volume pemesanan menurun drastis.

Penurunan pendapatan UMKM, gangguan layanan logistik, dan risiko krisis sosial menjadi kekhawatiran utama.

Baca juga: 10 Negara Paling Banyak Gunakan Ojol dan Layanan Mobilitas Online, Indonesia Teratas

“Kita tidak bisa serta merta meniru negara lain tanpa kajian menyeluruh. Indonesia perlu melakukan regulatory impact assessment terlebih dulu,” pungkas Agung.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan