MK Putuskan Pemilu Nasional-Daerah Dipisah, Begini Respons Pakar Kepemiluan, Ahli Hukum, dan DPR
Putusan MK pisahkan pemilu nasional dan daerah menuai pro-kontra. Pakar sebut langgar UUD, DPR dan Perludem dorong revisi UU.
Penulis:
Mario Christian Sumampow
Editor:
Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) membuat gebrakan baru dalam sejarah demokrasi Indonesia.
Lewat Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK resmi memisahkan jadwal pemilu nasional dan daerah, yang selama ini diselenggarakan serentak.
Artinya, pemilu lima kotak yang melibatkan pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD, dan kepala daerah tidak akan lagi terjadi pada Pemilu 2029.
Dalam amar putusannya, MK menegaskan bahwa pemilu lokal harus digelar paling singkat dua tahun dan paling lama dua setengah tahun setelah pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.
Ini berlaku untuk pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Baca juga: Setuju Pemisahan Pemilu, Pimpinan Baleg DPR: Lebih Ideal Lagi Jika Pilpres-Pileg Dipisah

Perludem: Ini Saatnya Revisi Menyeluruh UU Pemilu dan Pilkada
Menanggapi putusan itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, mendorong agar DPR dan pemerintah segera melakukan revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang Pemilu dan Pilkada.
Ia menyebut bahwa momen ini adalah waktu yang tepat untuk menata ulang regulasi pemilu demi menghasilkan proses demokrasi yang lebih berkualitas.
“Putusan MK ini jadi momentum ya untuk segera dibahas revisi undang-undang pemilu dan pilkadanya,” ujar Ninis, sapaan akrabnya, Minggu (29/6/2025).
Ninis menekankan pentingnya pembahasan revisi dilakukan dengan metode kodifikasi, bukan lagi terpisah antara UU Pemilu dan UU Pilkada.
Ia juga menyebut bahwa wacana kepala daerah dipilih kembali oleh DPRD harus ditinggalkan.
“Dengan putusan MK kemarin, mau enggak mau, ini harus jadi satu dalam metode kodifikasi. Bahasnya harus segera, harus digabung,” tegasnya.
“Pilkada lewat DPRD itu seharusnya sudah tidak relevan lagi,” tambahnya.
Baca juga: MK Beri Jeda 2 Tahun Pemilu Nasional dan Daerah, Mahfud MD: DPRD Tak Bisa Diperpanjang
Pakar Hukum Prof. Henry Indraguna Kritik Tajam Putusan MK
Sementara itu, pakar hukum sekaligus Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar, Prof. Henry Indraguna, memberikan tanggapan berbeda.
Ia mengkritik Putusan MK tersebut karena dianggap menyimpangi amanat konstitusi, khususnya Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak dan langsung.
“Putusan MK memperkenalkan pola pemilu bertahap, padahal konstitusi menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun dan secara bersamaan,” ujar Prof. Henry, Sabtu (28/6/2025).
Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) ini menilai MK telah melampaui kewenangannya (ultra vires) karena menciptakan norma baru terkait waktu pemilu, padahal seharusnya hal itu menjadi ranah DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang.
“Wewenang MK hanya menguji UU terhadap UUD, bukan membuat norma baru,” tegas Henry, yang juga Wakil Ketua Dewan Penasehat DPP AMPI dan Ketua DPP Ormas MKGR.
Ia bahkan menyarankan agar dilakukan revisi terbatas terhadap UUD 1945 untuk memperjelas batasan kewenangan MK dan makna serentak dalam pemilu.
“Jika MK bertindak di luar batas, maka prinsip checks and balances harus diaktifkan melalui pengawasan politik dan etik,” pungkas Henry.
Menurutnya, masyarakat juga bisa melaporkan ke Majelis Kehormatan MK (MKMK) jika ada dugaan pelanggaran etika atau konflik kepentingan, sementara DPR bisa menggunakan hak angket atau interpelasi.

Baca juga: Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Lokal, Pakar Usul Aturan Transisi Kepala Daerah dan DPRD
DPR Pastikan Revisi UU Pemilu Segera Dibahas
Menanggapi putusan tersebut, Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan bahwa DPR akan menjadikan putusan MK sebagai acuan utama dalam menyusun revisi UU Pemilu.
“Hal tersebut tentu akan menjadi bagian penting untuk kami menyusun revisi undang-undang pemilu yang akan datang,” katanya, Kamis (26/6/2025).
Ia mengakui bahwa keputusan MK akan berdampak pada masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD yang mungkin mengalami kekosongan jabatan di masa transisi.
“Kalau bagi pejabat gubernur, bupati, wali kota, kita bisa tunjuk penjabat seperti yang kemarin. Tetapi untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan memperpanjang masa jabatan,” jelas Rifqi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.