UU Pers Digugat, Jurnalis Minta MK Perjelas Mekanisme Perlindungan Hukum Wartawan
Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Iwakum meminta MK untuk memperjelas mekanisme perlindungan hukum untuk profesi pewarta.
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperjelas mekanisme perlindungan hukum untuk profesi pewarta.
Satu di antara permohonan itu, terkait penindakan hukum terhadap wartawan, baru bisa dilakukan apabila telah mendapatkan izin Dewan Pers.
Hal ini disampaikan pemohon Perkara 145/PUU-XXIII/2025, Irfan Kamil, dalam sidang pengujian Undang-Undang 40 Tahun 1999 tentang Pers, di Mahkamah Konstitusi, pada Rabu (27/8/2025).
Ketua Umum Iwakum Irfan Kamil mempersoalkan Pasal 8 UU Pers, yang berbunyi "Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum".
Menurutnya, norma Pasal 8 UU Pers tidak menjelaskan secara rinci mekanisme yang dapat ditempuh jurnalis dalam rangka mendapatkan perlindungan hukum.
Baca juga: Iwakum Uji Materi UU Pers ke MK, Minta Kepastian Hukum Perlindungan Wartawan
"Rumusan perlindungan hukum dalam pasal 8 dan penjelasannya bersifat multitafsir dan tidak memberikan kejelasan mekanisme," kata Kamil, dalam sidang pendahuluan, Rabu.
Berbeda dengan profesi advokat atau jaksa yang memiliki perlindungan hukum rinci, ia mengatakan, wartawan justru tidak mendapatkan kepastian prosedur ketika menghadapi masalah hukum.
"Kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum dan jaminan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," jelasnya.
Baca juga: Masyarakat Pers Teguh Berkeyakinan Bagi Pers Yang Berlaku Tetap UU Pers Meski KUHP Baru Disahkan
Kemudian, Irfan Kamil memberikan contoh kasus kriminalisasi yang dialami sejumlah wartawan, meski sudah ada Pasal 8 UU Pers yang mengatur adanya perlindungan untuk profesi tersebut.
Di antaranya, kasus jurnalis di Sulawesi Selatan, Muhammad Asrul, yang divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Palopo, Sulawesi Selatan dengan hukuman 3 bulan penjara, pada Selasa 23 Nov 2021.
Katanya, Asrul dinyatakan melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE setelah menulis tiga berita pada Mei 2019 tentang dugaan korupsi petinggi di Kota Palopo.
"Meski Dewan Pers telah menyatakan kasus (Asrul) ini sebagai produk jurnalistik, namun laporan itu tetap diproses dan akhirnya Asrul tetap ditahan pada Januari 2020 dan diadili di pengadilan," ucap Irfan Kamil.
Kasus lainnya, yakni dugaan penganiayaan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap seorang pewarta foto di Jakarta saat meliput aksi di Gedung Parlemen, pada Senin, 25 Agustus 2025.
Ia menilai, situasi ini menciptakan efek gentar yang membuat wartawan takut mengungkap kasus sensitif, termasuk korupsi dan pelanggaran HAM.
Padahal, katanya, hak atas perlindungan diri, kehormatan, martabat, dan rasa aman merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.