Penulisan Ulang Sejarah RI
Eks TGPF Ungkap Fakta Pemerkosaan 1998: Mencekam, Korban Trauma, Pertemuan Kostrad Disorot
TGPF menemukan fakta menarik bahwa Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Dibyo Widodo, diduga memantau kerusuhan dari helikopter dan meminta bantuan ABRI.
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Acos Abdul Qodir
"Ya karena begini, di TGPF juga kan ada tentara juga di situ. Ada dari, saya lupa, ada dari mungkin Jaksa, ada dari polisi, ada apa itu. Orang enggak selalu semua nyaman. Tapi mungkin mereka lebih nyaman lapor ke LBH atau ke PBHI, atau ke LSM lain," tambah Hendardi.
Atas alasan-alasan yang disampaikannya tersebut, Hendardi menegaskan, walaupun kasus pemerkosaan pada Mei 1998 tersebut tidak diadili secara hukum. Namun, ada temuan-temuan dari berbagai pihak yang menjadi saksi kekejian peristiwa tersebut yang membenarkan bahwa kasus pemerkosaan Mei 1998 itu benar-benar terjadi.
Sehingga, Hendardi menegaskan, Fadli Zon harus menyampaikan permintaan maaf kepada publik, terutama para korban dan keluarga korban atas pernyataannya yang dinilai mengaburkan peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998.
"Jadi, saya kira penulisan sejarah semacam ini atau ucapan-ucapannya yang menyangkal pemerkosaan dan sebagainya itu harus dia tarik kembali dan bahkan harus minta maaf kepada publik, kepada korban dan keluarga korban," tegasnya.
Kritik Amnesty: Dia Tidak Punya Kewenangan

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid juga menyesalkan pernyataan Fadli Zon.
Menurutnya, Fadli tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan ada atau tidaknya kekerasan seksual pada Mei 1998.
"Saya menyesalkan sikap Menteri Kebudayaan atas fakta peristiwa perkosaan massal 1998. Saya tidak mengerti dia menyangkal perkosaan massal dengan didasarkan pada ada atau tidaknya bukti," kata Usman, saat ditemui Tribunnews.com di Jakarta, Kamis (19/6/2025).
"Saya tidak mengerti, mengapa dia mengatakan itu? Dia bukanlah otoritas yang ditugaskan untuk melakukan penyelidikan atas perkosaan massal 1998," tandasnya.
Nursyahbani menambahkan, justru pemerintah lalai menindaklanjuti rekomendasi TGPF.
Menurutnya, alih-alih mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia tersebut, pemerintah justru menyangkal kebenaran terjadinya tragedi tersebut.
Padahal, kata Nursyahbani, laporan TGPF telah merekomendasikan pemerintah untuk segera menindaklanjuti kasus-kasus berkaitan Kerusuhan Mei 1998 yang dapat diungkap secara yuridis pihak-pihak mana saja yang terlibat.
"Kalau sekarang Fadli Zon bilang tidak ada bukti legal, bukti hukum bahwa kasus perkosaan itu ada, ya enggak mungkinlah, baik itu TRUK maupun TGPF kan bukan aparat hukum. Justru rekomendasinya TGPF agar ditindaklanjuti itu tidak dilakukan dalam 27 tahun terakhir. Kok malah sekarang disangkal?" tegas Nursyahbani.
Mengapa Disebut 'Massal'? Ini Penjelasannya
Eks anggota TGPF Kerusuhan Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, menegaskan bahwa penyebutan "pemerkosaan massal" dalam tragedi Mei 1998 bukan tanpa dasar. Ia menyebut peristiwa itu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan meluas.
"Massal itu berdasarkan fakta kejadiannya menyebar, bukan hanya di Jakarta, tapi juga di daerah lain," ujar Nursyahbani.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam sejarah Indonesia, etnis Tionghoa kerap dijadikan sasaran ketika krisis melanda, sebagaimana terjadi pada kerusuhan 1998 pasca-krisis ekonomi yang membuat rupiah anjlok drastis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.