Penulisan Ulang Sejarah RI
Eks TGPF Ungkap Fakta Pemerkosaan 1998: Mencekam, Korban Trauma, Pertemuan Kostrad Disorot
TGPF menemukan fakta menarik bahwa Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Dibyo Widodo, diduga memantau kerusuhan dari helikopter dan meminta bantuan ABRI.
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Acos Abdul Qodir
Ia juga membenarkan sebagian korban perkosaan saat itu takut melaporkan tindakan rudapaksa yang mereka alami kepada TGPF lantaran ada unsur dari pemerintahan Orde Baru yang ikut tergabung.
"Masalah kekerasan seksual, yang dalam situasi biasa saja itu sulitnya bukan main untuk mendorong korban untuk melapor, proses di kepolisian yang masih bias gender, apalagi dalam kasus kekerasan seksual pada Mei 98 itu," ungkap Sekretaris Jenderal KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) untuk Keadilan dan Demokrasi tahun 1998-2004 itu.
Ia juga mengungkap, TGPF menemukan fakta menarik bahwa Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Dibyo Widodo, diduga memantau kerusuhan dari helikopter dan meminta bantuan ABRI. Namun, komunikasi diduga terblokir.
"Kapolri itu pakai helikopter itu meraung-raung di atas udara Jakarta melihat kerusuhan itu dan meminta tentara untuk membantu (pengamanan). Tapi ternyata itu telepon diblokir semua sehingga enggak bisa komunikasi dengan tentara," ungkapnya.
"Malahan Wiranto Cs itu pergi ramai-ramai ke Malang, kalau tidak salah ada peresmian apa saya agak lupa," imbuhnya.
Rekomendasi Periksa Pertemuan di Kostrad, Fadli Zon Termasuk

Nursyahbani mengatakan, dia sependapat dengan pernyataan yang disampaikan aktivis 1998 Ray Rangkuti di sejumlah media beberapa waktu terakhir, bahwa Fadli Zon tidak pernah ikut di dalam gerakan anti Soeharto dan anti Orde Baru pada 1998. Menurutnya, Fadli Zon justru dekat dengan keluarga Cendana.
Ia mengungkapkan bahwa TGPF merekomendasikan agar pertemuan di kantor Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) pada 14 Mei 1998 diperiksa lebih lanjut. Pertemuan itu diduga dihadiri Letjen Prabowo Subianto, Fadli Zon dan beberapa tokoh lainnya.
Diketahui, pada saat tragedi kerusuhan Mei 1998, Prabowo Subianto menjabat sebagai Pangkostrad.
"Malah seingat saya rekomendasi pertama dari TGPF itu adalah memeriksa pertemuan di kantor Kostrad yang dihadiri oleh Pak Prabowo dan Fadli Zon, ada juga disebut beberapa nama termasuk almarhum Adnan Buyung Nasution," ungkapnya.
Ia menegaskan, kerja TGPF saat itu hanya sebulan sehingga tidak cukup waktu untuk mendalami isi pertemuan tersebut.
Namun, temuan mereka memverifikasi laporan awal dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRUK), yang sudah lebih dulu diserahkan ke Komnas HAM pada 9 Juni 1998.
Sebab, menurutnya, ada sejumlah pihak yang mempertanyakan metodologi yang digunakan TRUK dalam membuat laporannya soal tragedi tersebut.
Ketidaknyamanan Korban, Banyak yang Mengadu ke LSM
Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, yang saat itu aktif di PBHI, juga menyampaikan bahwa sebagian korban lebih nyaman melapor ke LSM seperti LBH atau PBHI.
"Yang di TGPF mungkin banyak ya di Komnas HAM ini.Tapi di kami ada beberapa lah ya. Tidak sampai lima orang tapi di PBHI waktu itu. Untuk mengadukan, melaporkan hal-hal gitu. Dan kami catatkan. Tapi boro-boro bisa dicatatkan. Karena kadang-kadang bicara saja sudah nangis duluan. Susah untuk ini (korban menceritakan). Itu kan soal manusia," jelas Hendardi, saat ditemui Tribunnews.com di Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Ia menambahkan, kehadiran tentara, polisi, dan jaksa dalam struktur TGPF membuat sebagian korban enggan melapor. Bahkan, ada korban yang memilih melarikan diri ke luar negeri ketimbang melanjutkan pengaduan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.