Selasa, 19 Agustus 2025

Penulisan Ulang Sejarah RI

Eks TGPF Ungkap Fakta Pemerkosaan 1998: Mencekam, Korban Trauma, Pertemuan Kostrad Disorot

TGPF menemukan fakta menarik bahwa Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Dibyo Widodo, diduga memantau kerusuhan dari helikopter dan meminta bantuan ABRI.

|
Istimewa
TRAGEDI MEI 1998 - Massa melakukan pembakaran pusat perbelanjaan di Solo, Jawa Tengah, Mei 1998. Terkini, Mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, membenarkan adanya temuan kasus pemerkosaan pada saat tragedi kerusuhan 13-15 Mei 1998 di Indonesia merespon bantahan pemerkosaan massal dalam peristiwa tersebut dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon. 

"Kalau dulu Tionghoa memang mendapatkan privilege dari pemerintah kolonial Belanda, VOC, sebagai penarik pajak, sebagai kapiten. Dan ketika ada masalah sosial, mereka yang gampang disudutkan dengan kepanikan sosial dan kepanikan moral," jelasnya.

Nursyahbani menambahkan, dalam konflik sosial-politik di berbagai negara, pemerkosaan sering dijadikan alat penaklukan. “Perkosaan adalah senjata perang. Dan itu termasuk di dalam satu trauma sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan,” tegasnya.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menekankan bahwa istilah “massal” mengacu pada definisi “widespread” atau meluas dalam hukum internasional tentang kejahatan berat.

"Pendefinisian terhadap perkosaan massal itu harus dilihat dari perspektif hukum internasional hak asasi manusia. Kata 'massal' itu bukan seperti 'sunatan massal', kata massal itu diambil dari 'widespread' atau 'meluas' di dalam pendefinisian tindak pidana yang sangat serius di dalam hukum internasional, yaitu kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida," jelas Usman.

Ia mencontohkan bahwa kerusuhan tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di Solo, Medan, dan Surabaya.

"Kalau pun satu orang perempuan menjadi korban perkosaan, itu sudah sebuah tragedi, apalagi dilakukan oleh sekelompok orang sebagaimana dikatakan TGPF yaitu gang rape," ujarnya.

Usman mengingatkan bahwa perlindungan terhadap korban dan penegakan keadilan adalah hal utama, dan bahwa rekomendasi TGPF untuk membubarkan praktik premanisme hingga kini belum dilaksanakan.

Fadli Zon: Saya Tak Menegasikan Penderitaan Korban

Dalam klarifikasinya, Fadli Zon menegaskan bahwa ia tidak menihilkan penderitaan korban.

"Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini," kata Fadli Zon melalui keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).

"Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998," ujarnya menambahkan.

Fadli menyebut data saat itu tidak konklusif.

"Berbagai tindak kejahatan memang terjadi, termasuk kekerasan seksual. Tapi istilah 'massal' harus digunakan hati-hati," ujarnya.

Ia juga mengklaim bahwa penulisan ulang sejarah oleh kementeriannya justru bertujuan menegaskan kontribusi perempuan dalam sejarah.

"Isu perempuan telah diakomodasi dalam buku ini hingga Mei 2025. Kami terbuka pada dialog publik," tuturnya.

Namun, respons publik dan para aktivis menunjukkan bahwa luka lama belum sembuh, dan upaya menyangkal sejarah hanya menambah penderitaan penyintas.

Discalimer: Keterangan mengenai pertemuan di kantor Kostrad pada 14 Mei 1998 sebagaimana disampaikan oleh Nursyahbani Katjasungkana belum mendapat konfirmasi dari pihak-pihak yang disebut.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan