Penulisan Ulang Sejarah RI
Eks TGPF Ungkap Fakta Pemerkosaan 1998: Mencekam, Korban Trauma, Pertemuan Kostrad Disorot
TGPF menemukan fakta menarik bahwa Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Dibyo Widodo, diduga memantau kerusuhan dari helikopter dan meminta bantuan ABRI.
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Acos Abdul Qodir
Laporan khusus Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut belum ada "fakta keras" terkait pemerkosaan massal dalam Tragedi 13-15 Mei 1998 menuai kecaman luas dari publik, penyintas, dan para aktivis hak asasi manusia.
Mereka menilai pernyataan tersebut mengaburkan fakta-fakta kekerasan seksual yang terdokumentasi secara resmi dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan kesaksian lapangan para korban.
Mantan anggota TGPF Tragedi Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, menegaskan kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa benar-benar terjadi dan tercatat jelas dalam temuan resmi.
"Korban yang kami temui itu nyata. Tidak satu dua, tapi puluhan. Mereka mengalami trauma mendalam hingga tak mampu berbicara," ujar Nursyahbani saat ditemui di Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Penyangkalan adanya pemerkosaan massal disampaikan Fadli Zon dalam sebuah sesi wawancara terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian yang dipimpinnya.
Korban Didominasi Perempuan Tionghoa, Banyak Tak Mampu Bicara
Hasil investigasi TGPF mencatat 52 korban perkosaan, 14 korban pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 korban penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual. Korban didominasi perempuan Tionghoa.
"Saya pergi (investigasi) di Jakarta ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), Tangerang, Surabaya. Laporan itu lebih banyak didapatkan dari dokter, perawat, rohaniawan pendamping, dan satu atau dua orang korban saja. Ada tim yang lain juga sehingga menghasilkan angka 52 korban," kata Nursyahbani.
Baca juga: Komnas HAM: Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan di Kerusuhan 1998 Tak Tepat, Pemerintah Sudah Akui
Ia menambahkan, banyak korban dalam kondisi psikologis berat dan sulit diwawancarai.
Faktor trauma mendalam serta kondisi sosial politik yang mencekam di bawah rezim Orde Baru membuat pengumpulan data sangat sulit.
"Saya bertemu hanya satu atau dua orang itu dalam kondisi psikologis yang sangat tidak stabil. Seperti linglung atau malah juga gangguan jiwa, itu di RSCM dan rumah sakit di Tangerang," ungkapnya.
Situasi Mencekam dan Ketakutan Hambat Proses Investigasi
Selain faktor kondisi para korban, rasa takut terhadap rezim menjadi penghalang utama dalam investigasi TPGF. Bahkan, tenaga kesehatan yang menjadi sumber informasi enggan tampil di publik.
Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan Nursyahbani, bahwa situasi di Tanah Air saat itu sangat mencekam, sehingga menjadi alasan lain mengapa sebagian korban tidak ingin ditemui.
Sekalipun para dokter, perawat, pendamping ataupun rohaniawan bisa ditemui dan memberikan informasi. Namun, katanya, mereka tidak mau untuk tampil di hadapan publik.
Situasi mencekam tersebut, menurutnya, semakin menjadi-jadi dengan adanya ancaman-ancaman yang diterima sejumlah masyarakat, kasus kematian aktivis Ita Martadinata, dan kematian ribuan orang di beberapa supermarket yang terbakar.
Baca juga: Komnas HAM Temukan Sederet Masalah pada Program Cetak Sawah di Merauke, Termasuk Penggusuran Paksa
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.