Senin, 18 Agustus 2025

Penulisan Ulang Sejarah RI

Kala Tangisan 2 Anggota DPR Tak Cukup Buat Fadli Zon Akui Ada Pemerkosaan Massal pada Mei 1998

Tangisan dua anggota DPR ternyata tidak membuat Fadli Zon mengakui adanya pemerkosaan massal saat tragedi Mei 1998.

Tribunnews.com/Chaerul Umam
KEKERASAN SEKSUAL 1998 - Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP Mercy Chriesty Barends, mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menyangkal kebenaran kasus rudapaksa massal dalam Tragedi 1998. Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja Komisi X DPR RI dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, pada Rabu (2/7/2025). Tangisan dua anggota DPR ternyata tidak membuat Fadli Zon mengakui adanya pemerkosaan massal saat tragedi Mei 1998. 

TRIBUNNEWS.COM - Tangisan dua anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, My Esti Wijayati dan Mercy Chriesty Barends, tidak mampu meyakinkan Menteri Kebudayaan (Menbud), Fadli Zon, terkait adanya pemerkosaan massal saat tragedi Mei 1998.

Hal ini terjadi ketika rapat kerja (raker) bersama Komisi X di gedung parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).

Mulanya, Fadli Zon meragukan pemerkosaan yang terjadi saat tragedi Mei 1998 dilakukan secara massal.

Dia mengartikan jika memang tragedi tersebut adalah massal, maka dilakukan secara terstruktur dan sistematis.

Politikus Partai Gerindra itu pun lantas mencontohkan peristiwa yang layak disematkan diksi 'massal' yaitu tragedi pemerkosaan massal di Nanjing dan Bosnia.

"Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis. Di Nanjing, korbannya diperkirakan 100.000 sampai 200.000."

"Di Bosnia itu antara 30.000 sampai 50.000. Nah, di kita, saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi, dan saya mengutuk dengan keras," kata Fadli dalam rapat tersebut, dikutip dari YouTube Parlemen TV.

Fadli mengklaim telah berdiskusi terkait tragedi Mei 1998 selama dua dekade.

Kendati demikian, dia masih ragu terkait adanya pemerkosaan massal saat peristiwa yang menjadi tonggak runtuhnya rezim Orde Baru tersebut.

Baca juga: Ragukan Diksi Massal, Fadli Zon Bandingkan Pemerkosaan Tahun 98 dengan Pembantaian di Nanjing RRC

Adapun keraguan yang mendasari Fadli adalah laporan dari Majalah Tempo dan pernyataan aktivis HAM Sidney Jones yang disebutnya sulit menemukan korban pemerkosaan Mei 1998 saat melakukan investigasi.

"Ini Majalah Tempo yang baru terbit pada waktu itu tahun 98, dibaca di sini dan bisa dikutip bagaimana mereka juga melakukan (investigasi)," kata Fadli sembari mengangkat Majalah Tempo. Sidney Jones mengatakan tidak ketemu satu orang pun korban.

Tangisan 2 Anggota DPR Dengar Pernyataan Fadli

Mendengar pernyataan Fadli tersebut, dua anggota DPR dari Fraksi PDIP, My Esti Wijayati dan Mercy Chriesty Barends pun menangis.

Air mata My Esty tumpah karena merasa sakit hati mendengar pernyataan Fadli saat membandingkan kasus pemerkosaan massal pada tragedi Mei 1998 dengan tragedi Nanjing dan Bosnia.

Wakil Komisi X DPR RI itu pun mengaku sampai tidak bisa pulang ketika tragedi Mei 1998 melanda Jakarta.

"Pak Fadli Zon ini bicara kenapa semakin sakit ya soal pemerkosaan. Mungkin sebaiknya tidak perlu di forum ini, Pak, karena saya pas kejadian itu juga ada di Jakarta, sehingga saya tidak bisa pulang beberapa hari," ujar My Esti.

My Esty juga menganggap Fadli tidak memiliki kepekaan terhadap para korban pemerkosaan Mei 1998 lewat pernyataannya tersebut.

Dia menilai Fadli terlalu teoritis dalam melihat kasus pemerkosaan tersebut.

Ketika My Esty masih berbicara, Fadli pun menginterupsi dengan menyatakan dirinya mengakui adanya pemerkosaan tersebut.

“Terjadi, Bu. Saya mengakui,” ucap Fadli.

Lagi-lagi, emosi My Esti tidak teredam lewat pengakuan Fadli itu yang seolah-olah tetap meragukan penderitaan korban.

Setelah itu, perdebatan singkat terjadi dan diinterupsi oleh anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Mercy Chriesty Barends.

Sama dengan My Esty, Mercy pun turut menangis terkait pernyataan Fadli tersebut.

Di mana dia menganggap negara sulit untuk mengakui adanya sejarah kelam meski sudah ada berbagai macam data dan testimoni korban sudah dikumpulkan sejak awal Reformasi.

Dia lantas membandingkan peradilan dalam kasus perempuan yang dijadikan budak seks oleh Jepang saat Perang Dunia Kedua.

Mercy mengatakan saat itu, tidak seluruh kasus kekerasan seksual diangkat dalam persidangan.

Kendati demikian, Pemerintah Jepang tetap meminta maaf atas adanya tragedi tersebut.

Menurutnya, hal tersebut berbeda dengan pemerintah Indonesia yang seakan terus menyangkal adanya pemerkosaan massal saat tragedi Mei 1998.

“Pak, saya ingin kita mengingat sejarah kasus Tribunal Court Jugun Ianfu. Begitu banyak perempuan Indonesia yang diperkosa dan menjadi rampasan perang pada saat Jepang. Pada saat dibawa ke Tribunal Court ada kasus, tapi tidak semua, apa yang terjadi? Pada saat itu pemerintah Jepang menerima semua,” jelas Mercy.

Minta Maaf, tapi Tetap Tak Akui Ada Pemerkosaan Massal

Pada momen tersebut, Fadli pun meminta maaf atas pernyataannya yang meragukan adanya pemerkosaan massal saat tragedi Mei 1998.

Namun, dia kembali meragukan perlunya penambahan diksi 'massal' dalam kasus tersebut. Menurutnya, perlu bukti dan data valid untuk membuktikan hal itu.

"Bu Mercy (anggota fraksi PDIP), saya minta maaf kalau ini dianggap insensitif. Tapi saya, sekali lagi, dalam posisi yang mengutuk dan mengecam itu juga," ujar Fadli di ruang rapat DPR.

Fadli menjelaskan bahwa keraguannya tertuju pada pemakaian diksi "massal" dalam narasi publik.

Ia menyebut, sebagai sejarawan, perbedaan pandangan dalam penafsiran sejarah adalah hal yang wajar dan perlu disikapi secara ilmiah.

"Kalau ada sedikit perbedaan pendapat terkait dengan diksi itu, yang menurut saya itu pendapat pribadi, ya. Yang mungkin kita bisa dokumentasikan secara lebih teliti lagi ke depan," katanya.

Ia juga menegaskan bahwa keraguannya tidak dimaksudkan untuk meremehkan atau mereduksi tragedi yang terjadi. Fadli meminta agar publik tidak salah menafsirkan sikapnya.

 "Saya kira, tidak ada maksud-maksud lain dan tidak ada kepentingan sebenarnya dalam hal ini untuk mereduksi, kalau itu sudah menjadi sebuah kenyataan-kenyataan," tegasnya.

Terkait dengan kemungkinan keterlibatan aktor tertentu, Fadli juga menyinggung potensi manipulasi narasi yang bisa dimanfaatkan oleh kekuatan asing untuk memecah belah bangsa.

"Jangan sampai kita masuk dalam narasi adu domba dari kekuatan asing. Misalnya, sebelum melakukan perkosaan massal meneriakkan 'Allahu Akbar'. Itu ditulis, dan juga disebut pelakunya berambut cepak, diarahkan ke militer. Ini narasi yang harus diteliti lebih dalam," tandasnya.

Fadli menyatakan, bila memang ada bukti hukum, maka para pelaku kekerasan seharusnya ditelusuri dan diproses secara hukum. Namun menurutnya, hingga kini belum ada fakta hukum yang kuat.

"Kalau misalnya memang bisa ditelusuri kelompoknya, pelakunya. Kan masalahnya itu belum menjadi sebuah fakta hukum, kira-kira begitu. Jadi tidak ada maksud-maksud lain," ucapnya.

Ia mengakhiri pernyataan dengan menegaskan bahwa tidak ada upaya dari pemerintah untuk menegasikan penderitaan para korban.

"Dan tidak sama sekali mengucilkan atau mereduksi, apalagi menegasikannya. Terima kasih," tutup Fadli.

(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto/Chaerul Umam)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan