Selasa, 9 September 2025

Soal Pemisahan Pemilu, Ahli Hukum Nilai MK Lakukan Pembangkangan Terhadap Konstitusi

Abdul Chair menilai MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon.

Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews/Ibriza Fasti Ifhami
GUGATAN PEMILU - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang soal Pemilu di gedung MK Jakarta beberapa waktu lalu. Abdul Chair menilai MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon terkait pemilu. 

Abdul Chair menuturkan pemilu serentak dan tidak terpisah dalam masa 5 tahun itu merupakan penyempurna bagi terwujudnya kedaulatan rakyat dan aksiologi hukum konstitusi 'kepastian hukum yang adil'.

"Bagaimana kita dapat melakukan rekayasa menambah masa jabatan yang melebihi batas sebagaimana ditentukan dalam konstitusi dalam rangka implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut," tuturnya.

Abdul Chair kembali menegaskan bahwa pemilu yang dilaksanakan/diselenggarakan secara serentak setiap 5 tahun sekali adalah dimaksudkan tidak melewati masa 5 tahun.

Dengan demikian, penyelenggaraan Pemilu secara serentak untuk tingkat nasional dan lokal yang terpisah dan telah melewati masa 5 tahun justru bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang menyebutkan 'Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali'.

Di sisi lain,  MK dalam pertimbangannya menyatakan 'pemaknaan Mahkamah tidak sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon'. Namun, dalam amar putusannya ternyata sebangun dengan dalil pemohon yang menginginkan pemisahan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah.

"Di sini terlihat Mahkamah tidak konsekuen dengan menerima dan kemudian memutus perkara a quo. Pasal 60 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi telah menentukan bahwa, 'Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda'," jelasnya.

"Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dengan norma 'lima tahun sekali' yang menjadi dasar konstitusional permohonan pemohon adalah juga menjadi dasar konstitusional pada Perkara Nomor 55/PUUXVII/2019 dan Perkara Nomor37/PUUXVII/2019. Adapun yang lainnya sebagai aksesoris belaka," tambahnya. 

Abdul Chair mengingatkan bahwa hukum sejatinya harus mengedepankan kemanfaatan.

Dia bahkan menyebut kemanfaatan selalu dikaitkan dengan teori utilitarianisme Jeremy Bentham yang mengemukakan 'the greatest happiness of the greatest number'.

"Prinsip kegunaan ini menjadi norma untuk menilai pembentukan hukum. Dengan demikian, Undang-Undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai Undang-Undang yang baik. Karena itu tugas hukum (utilitas), adalah memelihara kegunaan," ucapnya.

Atas hal tersebut, Abdul Chair berpandangan bila tafsir MK terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dalam Undang-Undang yang diuji benar-benar telah menjadikan tafsir tunggal, bukan terhadap Undang-Undang melainkan menunjuk pada UUD 1945. Dengan kata lain, MK telah merubah norma UUD 1945.

"Dengan demikian putusan a quo merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi yang semula diharapkan sebagai pelindung konstitusi (the guardian of the constitution), kini telah menjelma menjadi pembangkang konstitusi," tuturnya.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan