Senin, 8 September 2025

Soal Pemisahan Pemilu, Ahli Hukum Nilai MK Lakukan Pembangkangan Terhadap Konstitusi

Abdul Chair menilai MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon.

Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews/Ibriza Fasti Ifhami
GUGATAN PEMILU - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang soal Pemilu di gedung MK Jakarta beberapa waktu lalu. Abdul Chair menilai MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon terkait pemilu. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Prof. Dr. H. Abdul Chair Ramadhan menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan lokal/daerah merupakan sebuah pembangkangan terhadap konstitusi.

Abdul Chair menilai MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon.

Dia menegaskan jika pasal-pasal yang dimohonkan untuk diuji materiil tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy).

"Demikian itu merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. Suatu norma dalam Undang-Undang yang merupakan kebijakan hukum terbuka tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," ujar Abdul Chair dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (8/7/2025). 

Abdul Chair menekankan suatu norma Undang Undang yang termasuk dalam kategori kebijakan hukum terbuka maka norma tersebut berada di wilayah yang bernilai konstitusional

. Dengan kata lain bersesuaian dengan UUD 1945.

"Saya kutip Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, sebagai berikut: Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang," katanya.

Abdul Chair menyesalkan MK telah berseberangan dengan pendapatnya sendiri dan terperangkap menjadi positive legislature.

Di sisi lain, dalil pemohon ternyata bukanlah menyangkut konstitusionalitaa norma, melainkan implementasi norma.

"Tentu berbeda antara validitas norma dengan bekerjanya hukum. Demikian itu seharusnya bukan menjadi yurisdiksi Mahkamah. Menjadi pertanyaan, mengapa permohonan tersebut diterima oleh Mahkamah Konstitusi?" tuturnya. 

Dia justru mempertanyakan dalil pemohon, di mana dalam permohonannya disebutkan menyampaikan argumentasi empirik
berdasarkan dua kali penyelenggaraan pemilu serentak lima kotak, yakni pada tahun 2019 dan tahun 2024, yang telah terbukti melemahkan derajat dan kualitas kedaulatan rakyat, melemahkan pelembagaan partai politik (parpol), serta merugikan pemilih untuk mendapatkan suatu penyelenggaraan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil berdasarkan ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

"Apakah dalil ini terkait langsung dengan adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon. Kerugian itu apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) dengan dengan norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian?" katanya.

"Kemudian, apakah ada jaminan dengan dikabulkannya permohonan (in casu Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024), maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi?" timpalnya.

Terlepas dari final dan mengikatnya putusan MK, kata dia, jika seandainya nanti yang terjadi adalah justru lebih menimbulkan dampak kemudaratan yang lebih besar maka bagaimana negara penyelesaian konstitusionalnya.

Menurut dia, dalil pemohon yang dibenarkan oleh MK, yakni ketiadaan perbaikan atas jadwal keserentakkan pemilu sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang menyebabkan masih terjadinya kerugian hak konstitusional pemohon.

Halaman
123
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan