Soal Pemisahan Pemilu, Ahli Hukum Nilai MK Lakukan Pembangkangan Terhadap Konstitusi
Abdul Chair menilai MK telah melampaui kewenangannya dalam menguji gugatan dari pemohon.
Penulis:
Muhammad Zulfikar
Editor:
Hasanudin Aco
"Apakah itu sebanding dengan dampak buruk yang ditimbulkan akibat pemisahan pemilu nasional dan lokal? Upaya pemohon
dalam uji materiil guna menghasilkan konsepsi agenda penyelenggaran pemilihan umum yang mengarah pada penguatan demokrasi, meningkatkan derajat dan kualitas kedaulatan rakyat, penguatan pelembagaan partai politik dan efektivitas sistem kepartaian, serta sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, apakah dengan semudah itu diamini oleh Mahkamah? Sungguh membingungkan dan memilukan!" ujarnya.
Abdul Chair mengatakan sejatinya penyatuan Pemilu lokal dan nasional dalam satu waktu merupakan bagian dari 'aturan hukum yang mengikuti', dimana 'hukum yang diikuti' adalah Pasal 22E (1) UUD 1945.
Dia menyebut dalam ini yang paling menentukan adalah kemanfaatan umum yang menunjuk pada konstitusi, yakni terwujudnya pemilu setiap 5 tahun sekali.
"Demikian itu sudah jelas, dan oleh karenanya tidak lagi memerlukan penjelasan apalagi mengubah maknanya menjadi lebih dari lima tahun," katanya
Sejalan dengan hal ini, Abdul Chair lantas mengutip pernyataan Ronald Dworkin bahwa maksim hukum itu tidak bersandar pada aturan-aturan (rules) saja, tetapi juga prinsip-prinsip (principles). Prinsip-prinsip merupakan bagian dari hukum.
Prinsip-prinsip, menurutnya memiliki dimensi kadar. Dengan demikian, jika prinsip-prinsip bertentangan, maka metode yang tepat untuk memecahkan suatu masalah adalah dengan memilih prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat dan mengabaikan prinsip yang kadarnya lemah.
Terkait dengan perkara a quo, prinsip-prinsip yang memiliki kadar yang lebih kuat itu bukanlah tawaran pemohon tentang format keserentakkan Pemilu yang dipisah dan dikabulkan MK.
Pemilu serentak setiap 5 tahun sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22E (1) UUD 1945 adalah prinsip, bukan kadarnya lebih kuat dari dalil pemohon dan putusan MK, namun memang dari awalnya tidak ada yang dapat menandinginya.
Lebih lanjut, adanya usulan untuk dilakukan upaya rekayasa konstitusional atas putusan tersebut, adalah pendapat pembenaran dan demikian kering argumen yuridis-teoretis.
Bagi dia, yang menjadi catatan ialah rekayasa konstitusional jika semata-mata hanya mengikuti putusan a quo, yang notabene adalah persoalan implementasi norma, maka hal itu sangat tidak tepat dan tidak pada tempatnya.
"(constitutional engineering) Keadilan adalah 'menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya'.
Di sini pembebanan sesuatu sesuai kemampuan dan memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya sesuai dengan kadar yang seimbang (proporsional)," tuturnya.
Dia menyatakan pembagian proporsi yang sama diberikan kepada orang-orang yang sama, sebaliknya orang yang tidak sama tentu akan mendapatkan pembagian yang berbeda, sehingga semua orang diberlakukan sama untuk hal yang sama dan diperlakukan berbeda untuk hal yang berbeda.
Dengan demikian, kata dia yang menjadi tolok ukur keadilan adalah unsur proporsionalnya. Pemilu serentak dan tidak terpisah sudah proporsional dan memiliki validitas dari norma dasar.
"Pemisahan Pemilu itu adalah bentuk 'membedakan dua hal yang sama' Pembedaan atas dua hal yang sama merupakan bentuk ketidakadilan dan sekaligus ketidakbenaran," ujarnya.
Pemilu Serentak Dinilai Memperberat Beban Kerja Petugas KPPS |
![]() |
---|
Pimpinan DPR RI Kaji Putusan MK soal Pemilu Nasional dan Daerah Tak Lagi Serentak |
![]() |
---|
Hasil Gugatan UU TNI oleh Sejumlah Mahasiswa Bakal Diputuskan Besok oleh MK |
![]() |
---|
Resmi MK Wajibkan SD-SMP Gratis, Ini 6 Fakta yang Bikin Orang Tua Lega |
![]() |
---|
Sidang MK, Kubu Ramdhan Pomanto-Azhar Arsyad Beberkan Praktik Politik Gentong Babi di Pilgub Sulsel |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.