Rabu, 3 September 2025

Alexander Marwata: Pasal Karet UU Tipikor Berpotensi Disalahgunakan

Permohonan uji materi kedua pasal tersebut adalah tiga mantan terpidana kasus korupsi alias mantan koruptor.

Tribunnews.com/ Ilham Rian Pratama
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (13/5/2024). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, memperingatkan risiko tafsir sewenang-wenang dalam penegakan hukum korupsi jika Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor tidak segera diberi batasan hukum yang jelas.

Hal itu ia sampaikan saat hadir sebagai saksi dalam sidang uji materi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (16/7/2025).

Alexander menyoroti potensi penyalahgunaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang saat ini sedang diuji di Mahkamah Konstitusi melalui perkara Nomor 142/PUU-XXII/2024 dan 161/PUU-XXII/2024.

Ia menekankan bahwa ketentuan hukum yang kabur akan memberi ruang bagi aparat penegak hukum (APH) untuk menafsirkan pasal-pasal tersebut secara subyektif, tanpa kontrol memadai.

“Mahkota dari seorang penegak hukum itu adalah integritas. Ketika para penegak hukum enggak memiliki integritas, ya enggak ada gunanya lagi. Pasal itu bisa ditafsirkan sekehendak APH," ujar Alexander usai menghadiri sidang di Jakarta.

Ia mendorong agar tafsir baru atas dua pasal kunci dalam UU Tipikor harus memasukkan unsur mens rea atau niat jahat.

Menurutnya, tanpa unsur itu, seseorang bisa dikriminalisasi hanya karena kebijakan atau keputusan administratif yang berdampak keuangan negara.

Baca juga: MA Kabulkan PK Setnov, Hukuman Koruptor e-KTP Dipangkas 2,5 Tahun

Lebih lanjut, Alexander mencontohkan praktik transparansi yang ia terapkan semasa menjadi pimpinan KPK.

Menurutnya, sistem ekspos terbuka di internal KPK — yang melibatkan penyelidik, penyidik, jaksa penuntut umum, hingga jajaran direktur dan pimpinan — mampu menekan potensi kesewenang-wenangan.

"Saya selalu tekankan itu ketika saya masih di KPK. Kalau di KPK kan perkara itu kan selalu diekspos secara terbuka... Jadi lebih fair, lebih terbuka,” tegasnya.

Siapa Pemohon Uji Materi UU Tipikor Pasal 2 & 3?

ilustrasi korupsi
ilustrasi korupsi (net)

Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor dalam dua perkara terpisah (Nomor 142/PUU‑XXII/2024 dan 161/PUU‑XXII/2024).

Pasal 2 ayat (1):
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
 
Pasal 3:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Permohonan uji materi kedua pasal tersebut adalah tiga mantan terpidana kasus korupsi alias mantan koruptor.

  1. Syahril Japarin, mantan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia (Perindo) periode 2016–2017, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas korupsi pengelolaan dana dan transaksi fiktif pada Perum Perindo.
  2. Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, dinyatakan bersalah menerima suap dan gratifikasi izin tambang hingga merugikan negara Rp 4,3 triliun; divonis 12 tahun penjara, kemudian bebas bersyarat.
  3. Kukuh Kertasafari, mantan koordinator tim di PT Chevron Pacific Indonesia, terbukti menyalahgunakan wewenang dalam proyek bioremediasi dan divonis penjara 2 tahun serta denda karena merugikan negara.

Baca juga: UU BUMN, KPK Tak Bisa Lagi Tangkap Direksi dan Komisaris yang Tersangkut Korupsi

Mereka menilai pasal-pasal tersebut terlalu luas dan berpotensi menjerat pejabat yang beritikad baik.

Mereka menilai kedua pasal itu terlalu luas dan kerap menimbulkan multitafsir. Pasal-pasal ini selama ini digunakan untuk menjerat pejabat negara atau kepala daerah, meski kadang tindakan yang mereka lakukan tidak serta-merta menunjukkan niat jahat.

Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberikan penafsiran yang lebih tegas dan terukur terhadap unsur “melawan hukum” dan “menyalahgunakan kewenangan” dalam dua pasal tersebut.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan