Rabu, 17 September 2025

RUU KUHAP

Pakar Hukum: RKUHAP Harus Lindungi Warga, Bukan Cuma Kepentingan Aparat

RKUHAP harus menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak, terutama warga negara yang berhadapan dengan proses pidana.

Editor: Wahyu Aji
HandOut/IST
KONFERENSI HUKUM 2025 - Konferensi Nasional Hukum Pidana 2025 bertema ‘Politik Hukum Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Dan Hukum Acara Pidana Indonesia: Membangun Sistem Hukum Yang Berkeadilan Dan Berperspektif HAM’ yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI) di Surabaya, Selasa (15/7/2025).  

TRIBUNNEWS.COM. JAKARTA - Draf RKUHAP yang saat ini dbahas DPR dan pemerintah dinilai masih problematis secara konseptual.

Pendekatan formalisme yang digunakan RKUHAP mengabaikan aspek perlindungan hak serta tak memberikan pemulihan terhadap pelanggaran prosedur.

RKUHAP juga tidak sensitif terhadap keadilan korban. Jika diteruskan dinilai norma progresif yang sudah diakomodir dalam KUHP menjadi kehilangan makna.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono menegaskan KUHAP seharusnya bukan hanya untuk kepentigan aparat.

RKUHAP harus menjamin perlindungan hukum bagi semua pihak, terutama warga negara yang berhadapan dengan proses pidana.

Integrasi sistem digital dalam penanganan perkara sejak tahap paling awal disebut Pujiyono sebagai salah satu usulan yang mengakomodir kepentingan semua pihak. 

Hal tersebut disampaikan Pujiyono dalam Konferensi Nasional Hukum Pidana 2025 bertema ‘Politik Hukum Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Dan Hukum Acara Pidana Indonesia: Membangun Sistem Hukum Yang Berkeadilan Dan Berperspektif HAM’ yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI) di Surabaya, Selasa 15 Juli 2025. 

“Usulan ini menekankan pentingnya penerapan sistem informasi berbasis teknologi sejak laporan polisi (LP) hingga tahap penyelidikan dan penyidikan.  Mekanisme ini diharapkan dapat membangun transparansi dan akuntabilitas dalam kerangka Single Prosecution Platform (SPP) yang sedang dikembangkan,” kata Pujiyono. 

Dirinya mengusulkan adanya kewenangan penyidikan tambahan oleh Penuntut Umum dengan jangka waktu yang cukup untuk menyelesaikan dan menentukan tindak lanjut penyidikan.

Hal ini untuk menjawab pertanyaan apabila gelar perkara mengalami jalan buntu dalam RKUHAP yang dibahas DPR dan pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban publik.

“Usulan ini muncul sebagai jawaban atas kekhawatiran publik terhadap praktik tarik-ulur perkara dan pelemahan prinsip due process of law,” katanya.

Dalam konferensi ini pula, sejumlah tokoh akademik menyampaikan kritik mendalam terhadap substansi dan proses legislasi RKUHAP.

Konferensi Nasional mengusung tema ini diyakini memperkuat posisi akademik dengan dukungan data empiris.

Yoes C Kenawas dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), memaparkan hasil survei terhadap pakar hukum pidana menunjukkan mayoritas responden (78,3 persen) menilai perlu adanya batas waktu maksimal untuk penyidikan. 

Sebanyak 99% menyatakan pentingnya kewajiban penyidik untuk memberitahu hak-hak tersangka sejak awal proses hukum.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan