Analisis Pakar UI Soal Mantan Napiter Kembali Jadi Teroris
Sudah bebas dan dibina, tapi kembali menebar teror. Mengapa mantan napiter bisa kembali tersesat? Ini kata pakar.
Penulis:
Reynas Abdila
Editor:
Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Penangkapan dua pria yang mengancam akan meledakkan Markas Polres Pacitan, Jawa Timur, kembali membuka perbincangan publik soal efektivitas penanganan mantan narapidana terorisme (napiter).
Salah satu pelaku diketahui merupakan residivis kasus terorisme.
Mengapa sebagian mantan napiter kembali terlibat dalam aksi radikal?
Menurut Sapto Priyanto, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) dan pengajar Kajian Terorisme di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG), faktor utama yang mendorong residivisme terorisme adalah ideologi radikal yang belum sepenuhnya hilang dari individu tersebut.
“Kalau dia berasal dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau yang berafiliasi dengan ISIS, sudah jelas penyebabnya adalah ideologi radikalnya yang masih terasa,” ujar Sapto kepada wartawan, Kamis (17/7/2025).
Sapto menjelaskan bahwa ideologi tersebut membuat pelaku memandang pemerintah sebagai musuh yang sah untuk diperangi.
Dalam pandangan ekstrem itu, konsep jihad dimaknai secara sempit sebagai perang fisik yang wajib dilakukan.
“Jihad oleh pelaku teror hanya dimaknai sebagai perang dan hukumnya dianggap fardu ain. Mereka merasa sedang berada dalam situasi perang karena tidak tegaknya syariat Islam di Indonesia,” jelasnya.
Baca juga: Satgas Cartenz: KKB Milenial Lebih Sadis, Serang Pemuka Agama hingga Rudapaksa Guru
Diketahui, dua pria diamankan aparat kepolisian setelah melontarkan ancaman akan meledakkan Markas Polres Pacitan, Jawa Timur, pada Jumat, 25 April 2025.
Salah satu pelaku diketahui merupakan residivis kasus terorisme.
Ancaman tersebut dilontarkan saat keduanya berada di Mapolres untuk urusan hukum. Petugas segera mengamankan pelaku dan menemukan satu pucuk airsoft gun di dalam tas.
Tim Jihandak dan Densus 88 Antiteror diterjunkan untuk melakukan sterilisasi dan pemeriksaan kendaraan pelaku.
Meski sempat dikaitkan dengan aksi terorisme, Polda Jawa Timur menegaskan bahwa kasus ini tidak terkait jaringan teroris, melainkan murni tindak pidana pengancaman terhadap petugas.
Data BNPT: 11 Persen Mantan Napiter Kembali Terlibat Terorisme
Fenomena residivisme bukan hal baru. Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2023, sebanyak 116 dari 1.036 mantan napiter kembali terlibat dalam aksi terorisme.
Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 11 persen mantan napiter menjadi residivis.
Namun, Sapto menekankan bahwa angka tersebut tidak serta-merta menunjukkan kegagalan program deradikalisasi.
Baca juga: Polri Ajak Masyarakat Tangkal Radikalisme dan Terorisme di Tengah Tantangan Era Digital
Menurutnya, efektivitas program sangat bergantung pada kesediaan individu untuk berpartisipasi secara sukarela dan sadar.
“Kalau mereka menolak ikut deradikalisasi, maka program tidak bisa dinilai gagal. Tapi jika mereka pernah ikut dan tetap kembali melakukan aksi teror, barulah kita bisa evaluasi apakah pendekatannya sudah tepat,” kata Sapto.
Ia juga menyoroti kemungkinan bahwa sebagian napiter mengikuti program deradikalisasi hanya untuk memenuhi syarat administratif agar cepat bebas, bukan karena kesadaran ideologis.
Deradikalisasi Berkelanjutan dan Berbasis Komunitas
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, Sapto mendorong pemerintah agar menjalankan program deradikalisasi yang berkelanjutan, mulai dari masa penahanan hingga setelah bebas.
Ia juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam proses reintegrasi.
“Program deradikalisasi sebaiknya berbasis komunitas, melibatkan lingkungan tempat tinggal pelaku agar mereka tidak kembali ke jaringan lama,” ujarnya.
Sapto juga menyoroti peran penting Kementerian Agama dalam meluruskan pemahaman keliru tentang jihad yang sering dijadikan pembenaran oleh kelompok radikal.
“Di sinilah pentingnya Kementerian Agama, yakni menjelaskan kesalahan pemahaman para pelaku. Kalau tidak, mereka akan tetap dipengaruhi propaganda dan bisa saja muncul teroris-teroris baru,” tegasnya.
Upaya BNPT: Kolaborasi dan Pendekatan Humanis

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sendiri telah menjalankan berbagai program deradikalisasi, mulai dari pembinaan keagamaan, kebangsaan, hingga pelatihan kemandirian.
Tahun ini, BNPT mengedepankan pendekatan kolaboratif dengan membentuk tim koordinasi pelaksanaan deradikalisasi di dalam dan luar lembaga pemasyarakatan.
Meski tantangan masih besar, pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis komunitas diyakini dapat memperkuat upaya pencegahan terorisme di Indonesia.
Zulia Mahendra, Putra Amrozi: Makna Kemerdekaan ke-80 dan Jalan Menuju Kedamaian |
![]() |
---|
WAWANCARA EKSKLUSIF: Putra Amrozi, Pelaku Bom Bali — Dari Bayang Teror ke Pengibar Merah Putih |
![]() |
---|
HUT ke-80 RI: 16 Ribu Diundang ke Istana, Jutaan Warga Diminta Rayakan di Rumah |
![]() |
---|
Tuduh Porter Curi Uang, Warga Asing Ngamuk dan Lukai Diri di Hotel Kalibata |
![]() |
---|
Miris! Biskuit Stunting Diduga Dikorupsi, Anak Indonesia Terancam |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.