Dugaan Korupsi Pengadaan Satelit
Kubu Tersangka Dugaan Korupsi Proyek Satelit di Kemhan Bantah 'Sekongkol' dengan Navayo Soal Invoice
Kuasa hukum Laksamana Muda TNI (P) Leonardi membantah melakukan persengkongkolan dalam pembuatan invoice pengadaan satelit Kemhan.
Penulis:
Abdi Ryanda Shakti
Editor:
Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kubu satu tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012-2021, Laksamana Muda TNI (P) Leonardi membantah melakukan persengkongkolan dalam pembuatan invoice.
Kuasa hukum tersangka, Rinto Maha menyebut berdasarkan Permenhan Nomor 17 Tahun 2014, tudingan soal kliennya bersekongkol itu bertentangan dengan fakta administratif dan aturan hukum pengadaan negara.
"Klien kami bukan penentu kebijakan atau pengguna anggaran. Kedua, pengadaan proyek satelit di Kemhan telah dilakukan sesuai aturan Permenhan Nomor 17 Tahun 2014 dan pemenang pengadaan satelit orbit 123 BT diketahui Presiden Jokowi saat itu pada saat rapat terbatas," kata Rinto dalam keterangannya, Sabtu (19/7/2025).
Rinto menyebut kliennya hanya melaksanakan penandatanganan kontrak setelah DIPA tersedia, yakni pada Oktober 2016 dan bukan 1 Juli 2016 pada saat anggaran belum ada sebagaimana diberitakan atau dituduhkan.
Seluruh perencanaan, persetujuan alokasi anggaran, dan pengesahan kontrak, kata Rinto berada pada otoritas Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Baca juga: BREAKING NEWS: 3 Terdakwa Korupsi Proyek Pengadaan Satelit Kemenhan Divonis 12 Tahun Penjara
Fakta hukum ini menjadikan tuduhan kliennya bersekongkol sebagai spekulasi yang tidak ditopang bukti formil yang sah.
Dia membeberkan laporan hasil audit BPKP tertanggal 12 Agustus 2022 yang menjadi batu pijakan penyidik Kejagung RI menetapkan kliennya sebagai tersangka itu menyatakan bahwa tagihan (invoice) yang diajukan Navayo belum pernah dibayarkan Kemhan.
Selanjutnya seluruh klaim kerugian negara bersifat potensi (potential loss), bukan kerugian nyata (actual loss).
Baca juga: Kejagung Koordinasi dengan Kemlu Untuk Periksa CEO Navayo Terkait Kasus Korupsi Satelit Kemhan
Padahal, kata Rinto, Pasal 1 angka 22 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, unsur kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi harus nyata, pasti, dan aktual, bukan berdasarkan estimasi atau asumsi.
"Yang perlu digarisbawahi, invoice yang diajukan Navayo adalah bagian dari klausul kontraktual berdasarkan progres kerja yang mereka klaim. Invoice tersebut tidak diciptakan atau disahkan oleh klien kami, apalagi dibayar," ungkapnya.
"Bahkan, CoP (Certificate of Performance) yang menjadi dasar klaim invoice tersebut ditandatangani oleh pihak yang tidak berwenang sebagaimana dimaksud pada Permenhan No 17 Tahun 2014 yakni Panitia Penerimaan Hasil Pekerjaan yang diangkat oleh Pengguna Anggaran, bukan klien kami," sambungnya.
Rinto pun kembali menggaris bawahi soal diterimanya barang dari penyedia tidak sepengetahuan kliennya dan tidak menyetujui penerbitan CoP tersebut.
"Oleh karena itu, tidak ada alasan hukum untuk menyatakan bahwa Laksamana Muda TNI (P) Ir. Leonardi, MSc 'bersekongkol' dengan Navayo dalam pembuatan invoice," tuturnya.
Selanjutnya, tuduhan soal mengetahui tidak ada anggaran bertentangan dengan fakta administratif dan kehati-hatian tersangka Leonardi.
Menurutnya, pernyataan bahwa kliennya tetap melanjutkan pengadaan meskipun mengetahui tidak ada anggaran, adalah fitnah yang bertentangan dengan kronologi administratif.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.