Minggu, 21 September 2025

Pemerintah Waspadai Kemungkinan Bonus Demografi Tidak Optimal, Siapkan Langkah Mitigasi

Pemerintah mewaspadai kemungkinan tidak optimalnya bonus demografi yang kini sedang dialami Indonesia.

Tribunnews.com/Willy Widianto
BONUS DEMOGRAFI - Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Prof Budi Setiyono saat acar Orientasi Kependudukan dan Pembangunan Keluarga di UPT Balai Diklat, Ambarawa, Jawa Tengah, Minggu (27/7/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga) mewaspadai kemungkinan tidak optimalnya bonus demografi yang kini sedang dialami Indonesia.

Upaya-upaya mitigasi pun sudah mulai dipikirkan mengenai kemungkinan kegagalan dalam memanfaatkan bonus demografi.

Bonus demografi adalah kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif (sekitar 15–64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia non-produktif (anak-anak dan lansia).

Kondisi ini dianggap sebagai peluang emas bagi suatu negara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial.

Namun, apabila tidak dikelola dengan baik bonus demografi memang menjadi ancaman. Bencana sosial akan muncul dan mengancam generasi mendatang.

"Sebenarnya bukan overthingking kita harus menjawab wacana itu seringkali didiskusikan soal pemanfaatan bonus demografi. Apabila tidak memiliki struktur engineering yang baik akan lewat momentumnya, harus mewaspadai kemungkinan tidak optimal dalam melakukan bonus demografi," ujar Sekretaris Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Prof Budi Setiyono saat acar Orientasi Kependudukan dan Pembangunan Keluarga di UPT Balai Diklat, Ambarawa, Jawa Tengah, Minggu (27/7/2025).

Bonus demografi yang ada saat ini lanjut Prof Budi juga akan saling susul menyusul dengan tantangan aging population. Diketahui berdasarkan data Kemendukbangga jumlah lansia pada tahun 2024 sudah mencapai 34,8 juta jiwa atau sekitar 12 persen.

Jumlah lansia diprediksi bakal naik menjadi 65,8 juta jiwa atau 20,3 persen pada tahun 2045. 

Sementara itu tantangan lainnya adalah masih tingginya angka pekerja di sektor informal atau sekitar 58 persen. Sisanya hanya 42 persen bekerja di sektor formal.

Belum lagi kontribusi pajak terhadap PDB di Indonesia yang baru menyentuh angka 10,31 persen. Sangat rendah dibandingkan negara-negara maju seperti Jepang 52 persen dan Korea Selatan 45 persen.

"Kita harus buat grand besar engineering kalau kita mau menuju satu tempat dan jadi satu rangkaian. Hubungan antar sektor saat ini belum ada, jadi percuma ada anggaran kalau tidak nyambung, bonus demografi ini kan lintas sektor," kata Prof Budi.

Prof Budi kemudian menjelaskan mengenai masalah-masalah tidak optimalnya bonus demografi. Salah satunya kesulitan mencari pekerjaan, banyaknya PHK, banyak pungli, muncul preman, narkoba, banjir dan lainnya.

"Semua hal itu memiliki keterkaitan dengan adanya ketidakoptimalan dalam merencanakan dan mengelola terkait pertumbuhan dan perkembangan jumlah penduduk. Kita lihat kecil saja semakin hari sungai kita semakin kotor dan ini punya keterkaitan dengan jumlah penduduk besar sebenarnya kita belum mampu dalam pemanfaatan usia produktif," ujar Prof Budi.

Prof Budi kemudian menyarankan salah satu upayanya agar tidak terperosok ke jurang kegagalan bonus demografi adalah soal tenaga kerja. Perusahaan dan dunia industri harus segera membangun sistem yang terintegrasi mengenai proses supply dan demand tenaga kerja.

Apalagi saat ini tantangan dunia kerja adalah berhadapan dengan teknologi, salah satunya kecerdasan buatan atau artificial intelligence atau AI.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan