Minggu, 28 September 2025

Gapasdap Dukung Penguatan Keselamatan, Minta Implementasi SE-DJPL 22/2025 Lebih Realistis-Berimbang

GAPASDAP merespons positif Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan atas langkah cepat dalam meningkatkan keselamatan pelayaran

Editor: Wahyu Aji
Istimewa
KESELAMATAN PELAYARAN - Ketua Umum Gapasdap, Khoiri Soetomo, di Jakarta, Rabu (12/3/2025). GAPASDAP merespons positif Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan atas langkah cepat dalam meningkatkan keselamatan pelayaran. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Dewan Pengurus Pusat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (GAPASDAP) merespons positif Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan atas langkah cepat dalam meningkatkan keselamatan pelayaran melalui Surat Edaran SE-DJPL 22 Tahun 2025.

Gapasdap merupakan wadah tunggal bagi para pengusaha nasional di sektor transportasi air—baik koperasi maupun swasta—yang bergerak di bidang angkutan sungai, danau, serta penyeberangan.

"Kebijakan ini merupakan respon penting atas kecelakaan kapal penyeberangan yang baru-baru ini terjadi," kata Ketua Umum Gapasdap Khoiri Soetomo, Kamis (31/7/2025).

Dia menjelaskan Gapasdap mendukung penuh setiap upaya untuk mencegah terulangnya musibah di bidang pelayaran karena keselamatan pelayaran adalah prioritas tertinggi yang tidak bisa ditawar.

Namun demikian, katanya, Gapasdap memandang implementasi kebijakan tersebut harus realistis, adil, dan disertai dengan langkah pendukung yang memadai, agar tujuan peningkatan keselamatan pelayaran tidak mengorbankan kelancaran penyeberangan dan distribusi logistik nasional. 

Khoiri menjelaskan sejumlah hal yang penting dilakukan terkait dengan implementasi SE tersebut. Pertama, kegiata udit dan pembatasan operasional harus terukur dan bertahap.

Menurut dia, audit dan evaluasi terhadap kapal hasil perombakan perlu dijalankan secara transparan dan bertahap.

Penerapan larangan beroperasi atau pembatasan kapasitas secara mendadak berisiko menimbulkan kekurangan armada, menghambat mobilitas masyarakat, dan mengganggu jalur logistik penting seperti yang terjadi di lintas penyeberangan Ketapang–Gilimanuk.

Kedua, Batas Muat Tidak Bisa Seragam 75 persen. Pembatasan muat 75 persen tanpa mempertimbangkan garis muat (Plimsoll Mark) dan hasil uji stabilitas setiap kapal berpotensi menimbulkan kebijakan yang tidak adil dan tidak efisien.
 
Menurut dia, banyak kapal secara dimensi mampu memuat kendaraan lebih banyak, namun dibatasi angka seragam sehingga mengurangi kapasitas angkut nasional.

Di sisi lain, muatan truk ODOL (Over Dimension Over Load) juga harus diawasi ketat, karena meski jumlah kendaraan sedikit, tetapi bobot yang berlebih sering membuat garis muat terlampaui.

Ketiga, infrastruktur dermaga belum nemadai. Menurut dia, keselamatan tidak hanya bergantung pada kapal, tetapi juga pada kesiapan infrastruktur pelabuhan. Tanpa pembangunan dermaga baru atau revitalisasi dermaga LCM menjadi moving bridge, penghentian dermaga eksisting akan menyebabkan kemacetan panjang, menghambat arus logistik, dan memperburuk kondisi antrian di pelabuhan.

Selain itu, lanjutnya, kolam pelabuhan dan breakwater perlu dibangun agar kapal dapat bersandar dengan aman, terutama saat cuaca buruk.

"Tanpa pembenahan infrastruktur ini, kebijakan keselamatan tidak dapat berjalan optimal," katanya.

Keempat, masa transisi dan pendampingan teknis wajib diberikan. Dalam hal ini, operator kapal perlu waktu untuk melakukan penyesuaian teknis atau konversi kapal sesuai standar baru.

Oleh karena itu, diperlukan masa transisi yang jelas dengan tahapan yang disepakati bersama.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan