Sabtu, 16 Agustus 2025

Sidang Tahunan MPR

Status Royalti Lagu Sajojo dan Gemu Fa Mi Re di Sidang Tahunan MPR, Bakal Ditagih LMKN?

Adapun topik biaya royalti dari LMKN tersebut ramai dibahas setelah Orchestra Symphony Praditya Wiratama membawakan sejumlah lagu daerah

Penulis: Bobby W
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
SIDANG TAHUNAN MPR - Sejumlah Anggota MPR berjoget usai Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2025). Presiden Prabowo Subianto selaku Kepala Negara menyampaikan pidato yang memuat laporan kinerja lembaga-lembaga negara selama setahun terakhir dan pidato kenegaraan dalam rangka HIT ke-80 Kemerdekaan RI. 

TRIBUNNEWS.COM - Maraknya kontroversi terkait penagihan biaya royalti terhadap lagu-lagu yang diputar secara publik oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) ikut menjadi sorotan dalam Sidang Tahunan MPR 2025 pada Jumat (15/8/2025) di Jakarta, yang digelar dengan diperdengarkannya karya musik "Sajojo" dan "Gemu Fa Mi Re".

Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sendiri bertugas mengelola royalti untuk karya yang masih dalam masa perlindungan hak cipta.

Adapun topik biaya royalti dari LMKN tersebut, ramai dibahas setelah Orchestra Symphony Praditya Wiratama dari Universitas Pertahanan (Unhan) mempersembahkan sejumlah lagu daerah, termasuk dua lagu populer tersebut, setelah Prabowo Subianto selesai berpidato dalam Sidang MPR.

Sejumlah pejabat dan tamu undangan tampak antusias menikmati penampilan orkestra yang dimainkan oleh mahasiswa Unhan.

Di momen tersebut, tampak Presiden Prabowo hingga Wakil Ketua Komisi VI DPR RI sekaligus komedian Eko Patrio turut menikmati alunan lagu dengan mengangguk-anggukkan kepala saat lagu-lagu tersebut diperdengarkan.

Namun demikian, sebuah pertanyaan kemudian muncul di publik terkait status domain publik dari kedua lagu tersebut.

Hal ini terjadi mengingat adanya kewajiban untuk membayar royalti kepada LMKN apabila lagu tersebut, diputar atau dibawakan dengan tujuan komersial.

Beberapa lagu nasional sendiri bisa mendapatkan tagihan dari LMKN apabila sifatnya masih belum menjadi domain publik sehingga penciptanya ataupun pihak keluarganya masih bisa mengajukan pembayaran royalti.

Lantas, apakah status lagu seperti "Sajojo" dan "Gemu Fa Mi Re" bisa dikatakan sudah masuk domain publik dan bebas royalti dari pihak seperti LMKN.

Berikut penjelasan singkatnya.

Status Lagu Cipta Sajojo 

Baca juga: Prabowo hingga Titiek Soeharto Nikmati Lagu Sajojo dan Gemu Fa Mi Re di Sidang MPR, Ada yang Joged

Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 28/2014, masa perlindungan hak cipta untuk karya seni musik berlaku selama hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia.

Jika karya tidak memiliki pencipta yang jelas (seperti karya tradisional), masa perlindungan dihitung sejak karya tersebut pertama kali dipublikasikan. 

Namun, Pasal 40 UU yang sama memberikan pengecualian khusus untuk ekspresi budaya tradisional, termasuk lagu rakyat.

Terkait lagu "Sajojo", beberapa pihak menyebut lagu tersebut diciptakan oleh David Rumagesan yang merupakan musisi dan pentolan grup band legendaris asal Papua Black Brothers pada 1990-an.

David sendiri meninggal dunia di RS Pertamina, Jakarta pada 23 Februari 2018 lalu.

Bila merujuk pada informasi tersebut maka menurut UU No. 28/2014 lagu tersebut masih mendapatkan perlindungan hak cipta dan belum masuk domain publik karena jarak meninggalnya sang pencipta masih di bawah 70 tahun

Namun demikian, lagu Sajojo yang tercatat diciptakan oleh David tersebut merujuk pada waktu perekaman dan perilisan lagu ke publik.

Bila merujuk pada pernyataan di Situs resmi Kementerian Pariwisata Indonesia, Sajojo sejatinya merupakan salah satu lagu daerah adat-istiadat asal Papua yang telah ada secara turun-temurun tanpa diketahui pencipta spesifik. 

Menurut Penjelasan Pasal 40 UU Hak Cipta, ekspresi budaya tradisional seperti lagu rakyat tidak dilindungi oleh hak cipta, melainkan diatur dalam perlindungan khusus berdasarkan prinsip adat dan kearifan lokal.

Karena aturan tersebut, Sajojo asal Papua ini tidak termasuk objek hak cipta dan secara hukum masuk domain publik, sehingga bebas digunakan tanpa izin atau royalti.

Namun demikian, apabila yang diperdengarkan adalah adaptasi dari aransemen atau rekaman yang diciptakan oleh David Rumagesan dan Black Brothers, maka bisa saja dikenai biaya royalti.

Baca juga: 10 Lagu Nasional yang Bisa Kena Biaya Royalti karena Bukan Domain Publik, Indonesia Raya Ada?

Status Lagu Gemu Fa Mi Re

Status lagu Gemu Fa Mi Re bisa dikatakan sebelas duabelas dengan lagu Sajojo.

Lagu ini merupakan nyanyian rakyat khas Maumere yang sering dikaitkan dengan tradisi Sa’o masyarakat setempat. 

Menurut Situs Museum Rekor Indonesia, Lagu "Gemu Fa Mi Re" adalah karya musik asal Maumere Nusa Tenggara Timur yang mulai terkenal sejak tahun 2012.

Lagu ini diciptakan oleh Frans Cornelis Dian Bunda atau biasa dikenal dengan Nyong Franco pada tahun 2011. 

Nyong Franco yang lahir di Maumere, 3 Maret 1973 ini juga masih hidup saat artikel ini ditulis.

Karena hal tersebut, lagu Gemu Fa Mi Re masih dilindungi hak cipta karena menurut Pasal 30 ayat (1) UU No. 28/2014, masa perlindungan hak cipta untuk karya seni musik berlaku selama hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia.

Namun demikian, status pengenaan royalti ini tergantung pada aransemen atau jenis lagu Gemu Fa Mi Re yang dibawakan.

Bila menggunakan lagu yang aransemen hingga liriknya dibuat oleh Nyong Franco maka masih bisa dikenakan biaya royalti LMKN.

Namun demikian, bila Gemu Fa Mi Re yang dibawakan merupakan aransemen yang lebih condong kepada lagu yang syair-syairnya digunakan secara turun-temurun dalam tradisi masyarakat Maumere, maka lagu tersebut masuk dalam kategori yang sama dengan Sajojo.

Berdasarkan Pasal 40 UU No. 28/2014, lagu ini tidak memiliki masa perlindungan hak cipta karena merupakan warisan budaya kolektif yang tidak memiliki pencipta individu.

Pada akhirnya, Sajojo dan Gemu Fa Mi Re bisa dikategorikan sebagai ekspresi budaya tradisional yang tidak dilindungi hak cipta sehingga LMKN tidak berwenang memungut royalti atas penggunaannya.

Namun, perlu dicatat hal tersebut terjadi bila lagu yang dibawakan merujuk pada aransemen tradisional yang sudah ada secara turun temurun dalam tradisi masyarakat.

Apabila lagu yang dibawakan merupakan adaptasi dari versi aransemen modern maka masih ada kemungkinan penarikan royalti dari LMKN mengingat adanya UU Hak Cipta  No. 28/2014 yang melindungi hak royalti selama 70 tahun setelah kreator aransemen meninggal.

Penggunaan lagu tradisional juga harus menghormati konteks budaya dan etika lokal, sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2) UU Hak Cipta yang melarang penyalahgunaan ekspresi budaya tradisional.

Dengan demikian, penggunaannya dalam acara resmi seperti Sidang Tahunan MPR 2025 tidak memerlukan izin atau pembayaran royalti kepada LMKN atau pihak lain selama yang dibawakan adalah aransemen yang digunakan oleh masyarakat adat setempat.

(Tribunnews.com/Bobby)

Sumber: TribunSolo.com
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan