Selasa, 7 Oktober 2025

Program Makan Bergizi Gratis

Dua Pakar Singgung Kelangsungan Program MBG, Dosen UGM: Lebih Baik Pendidikan Gratis Sampai Kuliah

Sudah dua pakar hukum dari UGM dan UII mengkritik kelangsungan program MBG, mereka sepakat pendidikan lebih penting

Tribunnews.com
SIDAK MBG - Ketua Komisi IV DPR RI, Siti Hediati atau Titiek Soeharto, menghadiri sidak program makan bergizi gratis di SMKN 1 Batam, Kepulauan Riau, Rabu (10/9/2025). Ia tampak mendampingi Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka dan istrinya, Selvi Ananda. 

TRIBUNNEWS.COM - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih menjadi sorotan kelangsungannya di tengah peristiwa keracunan massal yang masih terjadi di berbagai daerah Tanah Air.

Sudah dua pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) turut berkomentar terhadap program yang dinisiasi oleh Presiden Prabowo Suabianto ini.

Pertama adalah dosen dari Fakultas Hukum UGM yakni Herlambang Wiratraman dan kedua datang dari dosen UII yang juga mantan Menko Polhukam, Mahfud MD.

Keduanya pun kompak sependapat, mengedepankan pendidikan dibanding dengan makan gratis untuk pelajar.

Terbaru, Mahfud MD, inisiatif MBG memang menjadi program krusial yang berdampak positif bagi warga, terutama generasi muda.

Meski demikian, ia menekankan prioritas utama sesuai Pasal 31 UUD 1945 justru terletak pada pemenuhan akses pendidikan anak-anak serta peningkatan mutu tenaga pengajar.

Pernyataan ini dilontarkan Mahfud sebagai tanggapan atas penempatan anggaran MBG di bawah pos pendidikan. Untuk tahun 2026, dana MBG direncanakan sebesar Rp335 triliun, yang tergabung dalam total alokasi pendidikan mencapai Rp757,8 triliun.

Dengan demikian, porsi MBG menyita hampir 44 persen dari keseluruhan anggaran sektor pendidikan tersebut.

"Dalam perspektif Pasal 31 UUD 1945, esensi pendidikan yang paling mendasar sebenarnya bukan hanya soal MBG. Meskipun program ini sangat esensial, tapi secara teknis, hal-hal seperti kurikulum yang solid, sarana prasarana, kualitas pengajar, dan fasilitas belajar yang memadai jauh lebih prioritas," ungkap Mahfud dalam podcast Diskursus Net di YouTube, yang tayang pada Minggu (5/10/2025).

Lebih lanjut, Mahfud menilai penarikan dana MBG dari anggaran pendidikan bertentangan dengan semangat konstitusi.

"Saya anggap ini kurang pas. Kalau dana MBG diambil dari sana, lalu apa makna alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan seperti diamanatkan UUD? Ini bisa jadi persoalan serius," tambahnya.

Baca juga: Kritik Alokasi Anggaran, Mahfud MD: MBG Penting, tapi di UUD 1945 Lebih Penting Pendidikan

Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud juga menyiratkan MBG bukan satu-satunya program yang 'menyusup' ke anggaran pendidikan.

"Apa sih definisi pendidikan sebenarnya? Seringkali anggarannya dipecah untuk berbagai kegiatan yang sebenarnya tak sepenuhnya terkait pendidikan, padahal seharusnya difokuskan pada inti masalah," keluhnya.

Oleh karena itu, Mahfud mendesak pemerintah untuk segera me-review pengalokasian dana MBG.

Ia tegas menolak jika program andalan Presiden Prabowo Subianto ini menggerus sumber daya pendidikan.

"Kami sarankan agar pemerintah menyesuaikan proporsinya dengan lebih bijak. Urusan gizi sebenarnya sudah ada lembaga yang menangani."

"Lebih baik ambil dari alokasi kementerian atau badan terkait yang sudah ada, jangan sampai mengorbankan esensi pendidikan itu sendiri. Jangan biarkan kualitas belajar anak-anak terganggu demi aspek gizi semata," papar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.

Herlambang: MBG Melanggar HAM

Herlambang menyampaikan kritik tajam terhadap program MBG yang ia anggap sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Demikian ia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), disiarkan YouTube Mahkamah Konstitusi pada 11 September 2025.

Sidang tersebut terdaftar dalam Sidang Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 yakni dengan agenda mendengar keterangan DPR serta ahli dan saksi pemohon.

Tepatnya mengenai Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi undang-undang.

Baca juga: Mensesneg Klaim Perpres Tata Kelola MBG Hampir Rampung, Masih Disempurnakan di Lintas Kementerian

"Tidak ada hari ini yang mengatakan MBG melanggar hak asasi manusia. Enggak ada. Semua percaya MBG adalah realisasi dari right to. No," ucapnya.

Namun, kata dia, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Program ini, yang diklaim sebagai realisasi hak atas pangan (right to food), justru mengorbankan hak-hak dasar lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.

Baca juga:  Dianggap Tambah Beban, Mendikdasmen Sebut Insentif Guru dalam MBG Bakal Diatur Perpres

Herlambang menyoroti ketidakadilan ini dengan menekankan MBG bukan solusi inklusif, melainkan pengurasan sumber daya anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan gratis bagi seluruh warga negara Indonesia hingga tingkat perguruan tinggi, sehingga mahasiswa tidak perlu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).

"Kenapa bukan pendidikan gratis untuk seluruh warga negara Indonesia? Kenapa harus MBG? Kenapa MBG menguras sumber daya ekonomi? anggaran terutama yang tidak pernah dialokasikan untuk pendidikan gratis sampai perguruan tinggi sehingga mahasiswa enggak ada perlu bayar UKT," tegas dia.

Lanjut Herlambang, banyak orang tua yang mengeluh tidak mampu membiayai sekolah anak-anak mereka, dan keluhan ini mudah ditemukan di media sosial.

Alih-alih memperbaiki akses pendidikan, MBG menurutnya justru menyebabkan pemindahan anggaran yang mengurangi fasilitas pendidikan dan kesehatan.

"Gara-gara MBG karena anggarannya pindah, fasilitas pendidikan berkurang, fasilitas kesehatan berkurang."

Pelanggaran ini dapat ditelusuri melalui konsep progressive realization dalam kerangka HAM, yang diatur dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.

Kata kunci di sini adalah "pemajuan", yang harus ditafsirkan sesuai Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).

Pemajuan berarti pengembangan bertahap hak-hak HAM dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia (maximizing available resources), melalui langkah-langkah progresif dan ukuran legislatif yang tepat.

Konsep progressive realization menjadi kunci dalam pembangunan Indonesia karena sumber daya anggaran negara memang terbatas.

Tidak mungkin mencapai kesejahteraan instan untuk semua; oleh karena itu, diperlukan tahapan bertahap yang mengambil langkah-langkah (taking steps) secara bertahap.

"Progressive realization itu di mana sih letaknya dalam Undang-Undang Dasar pasal 28i ayat 4. Di situ ada kata, satu kata penting, pemajuan. Gimana cara menafsir pasal pemajuan di dalam Undang-Undang Dasar itu? Caranya adalah pasal 2 ayat 1 kovenan internasional hak ekonomi Sosial Budaya di mana pemajuan itu maksud yang ada adalah dikaitkan dengan progressive realization," katamya.

Namun, implementasi MBG sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) justru bertentangan dengan prinsip ini.

Program ini langsung mengalokasikan anggaran besar-besaran tanpa mempertimbangkan prioritas bertahap, sehingga melanggar prinsip indivisibility HAM—di mana satu hak tidak boleh mengorbankan hak lainnya.

MBG bukan hanya gagal merealisasikan right to food, tetapi juga menyingkirkan right to education dan right to health.

"Nah, ini juga tidak tepat. Nah, progressive realization itu sehingga membuat saya mengatakan MBG itu bukan soal right to food. No, dia justru menyingkirkan right to education, dia juga menyingkirkan right to health, kesehatan dan seterusnya," paparnya.

Studi ekonomi, termasuk penelitian terkini di Yogyakarta tentang tata kelola MBG yang masif, menunjukkan bahwa program ini justru membelenggu rakyat kecil dengan mengurangi akses layanan dasar.

Herlambang menekankan MBG tidak merujuk pada konsep bertahap yang benar, melainkan membatasi atau mengurangi hak-hak lain tanpa memaksimalkan sumber daya secara efisien.

Lantas dirinya mengutip tafsir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada halaman 11 dokumen yang disebutkannya, bahkan negara dengan sumber daya terbatas wajib memperkenalkan program berbiaya rendah dan terarah untuk kelompok paling rentan.

Sumber daya yang ada harus digunakan secara efisien dan efektif, bukan dialihkan secara sepihak ke MBG yang mengorbankan kepentingan layanan dasar seperti pendidikan dan sanitasi.

Contohnya, diskusi tentang sanitasi yang muncul dalam persidangan menunjukkan bagaimana prioritas sempit seperti MBG menghambat kemajuan holistik.

"Kenapa saya bilang melanggar hak asasi manusia? Kembali ke konsep yang saya tulis, progressive realizations. Karena terbatas maka perlu tahapan. Enggak mungkin langsung semua dibikin sejahtera. Enggak mungkin. Saya juga sadar itu. Maka konstruksi hukum hak asasi manusia mengatakan, 'Bertahaplah taking steps, ambil langkah-langkah, maximizing available resources, memaksimalkan sumber daya dengan cara progresif maju dengan legislative measures.'"

Pada akhirnya, Herlambang memperingatkan bahwa tata kelola MBG yang buruk tidak hanya gagal memenuhi standar HAM internasional, tetapi juga mencelakakan rakyat.

Program ini, dengan diksi yang tepat disebut "menyingkirkan" atau "membelakangkan" hak-hak lain, menunjukkan ketidaksesuaian dengan semangat konstitusi.

Ia menambahkan, sekalipun suatu negara jelas-jelas memiliki sumber daya yang tidak memadai, kita tahu terbatas anggarannya, negara tersebut tetap harus memperkenalkan program-program berbiaya rendah dan terarah untuk membantu mereka yang paling membutuhkan sehingga sumber daya yang terbatas dapat digunakan secara efisien dan efektif.

Baca juga:  Prof Sulfikar Amir Sebut Program MBG Prabowo Oversize: Harusnya Targeted, Enggak Semua Orang Butuh

"Progressive relation itu begitu cara berpikirnya. Ini konsep HAM. Enggak ada ceritanya justru teralokasi dana-dana MBG justru teralihkan ee mengalihkan maaf mengalihkan anggaran-anggaran yang juga punya kepentingan layanan dasar yang lain."

Untuk mencapai pemajuan sejati, Indonesia perlu kembali ke prinsip progressive realization: bertahap, inklusif, dan berbasis keadilan, bukan proyek ambisius yang mengorbankan fondasi HAM dasar. Penelitian lanjutan tentang "military free nutritious millal governance" yang disebutkannya diharapkan segera tersedia untuk memperkuat argumen ini, mendorong perdebatan yang lebih sungguh-sungguh tentang pembangunan berkelanjutan.

Data BGN soal Keracunan MBG

RAPID TES MBG - Badan Gizi Nasional (BGN) menyebut dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibangun Polri mempunyai alat rapid test yang digunakan untuk menguji makanan yang sudah dimasak. Hal ini akan diterapkan di SPPG lainnya.
RAPID TES MBG - Badan Gizi Nasional (BGN) menyebut dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibangun Polri mempunyai alat rapid test yang digunakan untuk menguji makanan yang sudah dimasak. Hal ini akan diterapkan di SPPG lainnya. (Istimewa)

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengungkapkan sebanyak 6.517 orang mengalami keracunan makan bergizi gratis (MBG) sejak program tersebut diluncurkan pada Januari 2025. 

Data itu, kata Dadan, dihimpun sejak Januari sampai akhir September 2025.

Dadan mengatakan keracunan terbanyak terjadi di Pulau Jawa sebanyak 45 kasus.

Adapun sebanyak tiga wilayah pemantauan MBG, di antaranya wilayah 1 di Pulau Sumatera, wilayah II Pulau Jawa, dan wilayah III untuk Indonesia bagian timur.

"Kalau dilihat dari sebaran kasus, maka kita lihat bahwa di wilayah I itu tercatat ada yang mengalami gangguan pencernaan sejumlah 1.307, wilayah II ini sudah bertambah tidak lagi 4.147 ditambah dengan yang di Garut mungkin 60 orang, wilayah III ada 1.003 orang," kata Dadan dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025). 

Dadan mengatakan temuan kasus keracunan meningkat di dua bulan terakhir.

Penyebabnya antara lain ada Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tidak sesuai dengan SOP (Standard Operating Procedure).

"Seperti contohnya pemilihan bahan baku yang seharusnya H-2 kemudian ada yang membeli H-4, kemudian juga ada yang kita tetapkan processing masak sampai delivery tidak lebih dari 6 jam karena optimalnya di 4 jam seperti di Bandung itu, ada yang masak dari jam 9 dan kemudian di delivery-nya ada yang sampai jam 12 ada yang 12 jam lebih," kata dia.

Dadan menyebut SPPG yang tak sesuai dengan prosedur akan ditindak dan ditutup sementara. 

"Jadi dari hal-hal seperti itu kemudian kita berikan tindakan bagi SPPG yang tidak mematuhi SOP dan juga menimbulkan kegaduhan kita tutup sementara, sampai semua proses yang dilakukan dan kemudian mereka juga harus mulai mitigasi," pungkas Dadan.

Rincian Anggaran Pendidikan Tahun 2026 

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengumumkan alokasi anggaran pendidikan untuk tahun anggaran (TA) 2026 sebesar Rp757,8 triliun.

Dari seluruh pembagian untuk sektor pendidikan pada tahun 2026, program MBG paling banyak menyerap anggaran yaitu mencapai Rp335 triliun atau hampir 50 persen dari total anggaran pendidikan.

Adapun anggaran MBG sendiri maksud dalam sektor penerima manfaat siswa atau mahasiswa. Bahkan di sektor yang sama, anggaran MBG lebih besar 10 kali lipat ketimbang pemberian beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Selengkapnya berikut rincian anggaran pendidikan untuk TA 2026:

Penerima Manfaat Siswa/Mahasiswa (Rp401,5 triliun)

Bidikmisi/KIP Kuliah bagi 1,2 juta mahasiswa: Rp17,2 triliun
Program Indonesia Pintar (PIP) bagi 21,1 juta mahasiswa: Rp15,6 triliun
Beasiswa LPDP bagi 4.000 mahasiswa: Rp25 triliun
Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk 82,9 juta penerima dan 30.000 SPPG: Rp335 triliun

Penerima Manfaat Guru/Dosen/Tenaga Kependidikan (Rp178,7 triliun)

TPG Non-PNS bagi 754.747 guru: Rp19,2 triliun
TPD Non-PNS bagi 80.325 dosen: Rp3,2 triliun
TPG ASND bagi 1,6 juta guru: Rp68,7 triliun
TPG PNS, TPD PNS, dan Gaji Pendidik: Rp82,9 triliun
Penerima Manfaat Sekolah/Kampus (Rp150,1 triliun)

Penerima Manfaat Sekolah/Perguruan Tinggi (Rp150,1 triliun)

Pembangunan Sekolah Rakyat: Rp24,9 triliun
BOS bagi 53,6 juta siswa: Rp64,3 triliun
BOP PAUD bagi 7,7 juta siswa: Rp5,1 triliun
Renovasi 11.686 sekolah dan 850 madrasah: Rp22,5 triliun
BOPTN bagi 201 PTN/lembaga: Rp9,4 triliun
Pembangunan Sekolah Unggul Garuda: Rp3 triliun

Anggaran MBG Selalu Naik

Di sisi lain, tentang anggaran, pemerintah seakan begitu mudah menggelontorkan dana untuk pembiayaan MBG ini lantaran mudah mengalami kenaikan.

Contohnya, dalam APBN tahun 2025, pemerintah awalnya mengalokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun.

Lalu, tiba-tiba menambah anggaran lagi menjadi Rp100 triliun. Sehingga total dana yang dikelola BGN pada tahun 2025 mencapai Rp171 triliun.

Kemudian, dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, pemerintah mengusulkan BGN mengelola anggaran mencapai Rp217,86 triliun.

Adapun rinciannya yakni Rp210,4 triliun untuk program pemenuhan gizi nasional dan sisanya untuk dukungan manajemen.

Dengan berkaca dari angka tersebut, program MBG melampaui anggaran di Kementerian Pertahanan sebesar Rp167,4 triliun, Polri Rp109,6 triliun, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Rp104,3 triliun, dan Kementerian Sosial (Kemensos) Rp76 triliun.

(Tribunnews.com/ Chrysnha, Yohanes Liestyo, Ibriza Fasti)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved