MDIS Buka Suara Soal Ijazah Gibran Rakabuming Raka, Subhan Palal: Enggak Ngaruh dengan Gugatan Saya
Subhan Palal menganggap konfirmasi dari MDIS terkait gelar Gibran sebagai angin lalu dan tidak berpengaruh pada gugatan yang ia layangkan.
TRIBUNNEWS.COM - Advokat Subhan Palal menanggapi pernyataan Management Development Institute of Singapore (MDIS) terkait ijazah dan data pendidikan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.
Pada Rabu (1/10/2025) lalu atau tepatnya pada ulang tahun Gibran yang ke-38, MDIS memberikan konfirmasi mengenai status diploma lanjutan dan gelar putra sulung mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) tersebut.
"Bapak Gibran Rakabuming Raka adalah mahasiswa penuh waktu di Management Development Institute of Singapore (MDIS) dari tahun 2007 hingga 2010," tulis keterangan resmi MDIS, dikutip dari Kompas.com.
Dalam keterangan MDIS disebut, pada periode 2007-2010, Gibran menyelesaikan program Diploma Lanjutan dan lanjut dengan pendidikan untuk meraih gelar sarjana.
MDIS menyatakan, Gibran memperoleh gelar Bachelor of Science (Honours) di bidang Marketing atau Pemasaran.
"Dilanjutkan dengan gelar Sarjana Sains (Honours) di bidang Marketing yang diberikan oleh mitra universitas kami saat itu, University of Bradford, Inggris," ungkap MDIS.
Akan tetapi, Subhan Palal mengaku tidak fokus pada pernyataan dari MDIS.
Pemilik firma hukum Subhan Palal dan Rekan tersebut hanya menganggap konfirmasi dari MDIS terkait gelar Gibran sebagai angin lalu dan tidak berpengaruh pada gugatan yang ia layangkan.
Sebab, yang ia permasalahkan adalah status sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) milik Gibran.
"Kalau saya, itu saya anggap angin. Kebetulan ber-KTP itu angin, KTP-nya di Singapura ya," seloroh Subhan Palal, saat berbincang dengan awak media, Senin (6/10/2025).
"Nah, itu angin yang ber-KTP itu, enggak ada ngaruh apa-apa terhadap gugatan ini. Karena yang saya persoalkan itu status SLTA atau sekolah lain yang sederajat," lanjutnya.
Baca juga: Rocky Gerung soal Urgensi Pertemuan Prabowo-Jokowi: Apakah Jokowi Mulai Gelisah soal Gibran & Bobby?
Kemudian, Subhan bertukas, jika Gibran dapat meraih gelar sarjana di MDIS hanya dalam periode tiga tahun, maka suami Selvi Ananda itu memiliki IQ (Intelligence Quotient) atau Kecerdasan Intelektual yang tinggi.
"Kalau yang MDIS, dari Singapura itu S1, itu [berarti] kita punya wakil presiden-nya IQ-nya tinggi loh. S1 bisa 3 tahun, loh ya. Saya ngalami S1 di UI itu 4 tahun," papar Subhan.
"Itu bisa dicek tuh IQ-nya tinggi banget itu. Kalau sampai 3 tahun bisa lulus S1 di Singapura mantap itu," sambungnya.
"Tapi yang saya personalkan SMA-nya ya. Jadi, itu [pernyataan MDIS] saya ulang itu saya anggap angin lalu, yang kebetulan angin punya KTP, KTP-nya Singapura, itu aja," tegasnya.
Ajukan Proposal Damai
Subhan Palal telah menggugat Gibran dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Subhan menilai, ijazah SMA milik Gibran tidak valid sehingga melanggar syarat pendaftaran calon wakil presiden RI, yakni minimal SMA sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Gugatan terhadap Gibran teregister dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.
Dalam petitumnya, Subhan meminta majelis hakim menyatakan Gibran selaku tergugat I dan KPU selaku tergugat II melawan hukum.
Selain itu, Subhan menuntut Gibran dan KPU membayar ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp125,01 triliun kepada penggugat dan seluruh warga negara Indonesia.
Uang tersebut nantinya disetorkan ke kas negara.
Gugatan Subhan sudah memasuki tahap mediasi, suatu bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) di mana pihak-pihak yang berselisih dibantu oleh seorang mediator untuk mencapai kesepakatan bersama secara sukarela.
Sidang mediasi pertama sudah digelar pada Senin (29/9/2025) lalu, tetapi ditunda lantaran Gibran tidak hadir; ia dan KPU hanya diwakili oleh kuasa hukum masing-masing.
Kemudian, sidang lanjutan kembali digelar dengan agenda yang sama, yakni mediasi pada Senin (6/10/2025) hari ini.
Sidang mediasi ini lagi-lagi hanya dihadiri kuasa hukum KPU dan Gibran, dan digelar secara tertutup bersama Subhan Palal.
Seusai sidang mediasi pada Senin hari ini, Subhan menyebut, dirinya mengajukan proposal perdamaian yang berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi para tergugat apabila ingin perkara tersebut selesai.
"Jadi, saya nyatakan dalam mediasi tadi, dalam proposal saya minta, pertama para tergugat minta maaf kepada warga negara," kata Subhan, kepada wartawan di PN Jakarta Pusat, Senin.
"Kedua, tergugat I dan tergugat II selanjutnya harus mundur dari jabatannya masing-masing. KPU itu komisionernya, kolektif kolegial," sambungnya.
Selain itu, Subhan mengungkapkan, dalam mediasi, dia juga menegaskan perihal tuntutan ganti rugi senilai Rp125 triliun bukan termasuk syarat perdamaian.
"Tadi mediator minta bagaimana tentang tuntutan ganti rugi. Enggak usah. Saya enggak butuh duit. Warga negara Indonesia tidak butuh uang, tapi butuh kesejahteraan dan butuh pemimpin yang tidak cacat hukum," tuturnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, dalam hal gugatan perbuatan melawan hukum, KPU RI juga harus bertanggung jawab atas keberhasilan Gibran menjadi Wakil Presiden RI 2024-2029.
Menurutnya, hal itu dikarenakan pencalonan Gibran tak mungkin terjadi tanpa andil dari KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Ia mengatakan, dasar gugatannya ini berangkat dari Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang pada intinya mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian akibat kesalahannya untuk turut menggantikan kerugian hukum yang terjadi.
"Karena gini, perbuatan melawan hukum itu tidak akan terjadi kalau hanya tergugat I (Gibran)," jelasnya.
"Begitu tergugat II (KPU) masuk, terjadi unsur perbuatan melawan hukum menjadi sempurna. Maka hukumnya KPU pun ikut hukum tergugat I, menurut saya ya," tegasnya.
Damai Bersyarat
Lebih lanjut, Subhan menyatakan, proposal damai ini adalah damai bersyarat, yakni Gibran dan komisioner KPU harus minta maaf dan mundur jika ingin gugatannya dicabut.
Namun, ia menegaskan bahwa jika Gibran tidak mundur, maka dirinya akan menempuh jalur Ultimum Remedium.
Ultimum Remedium merupakan asas yang menyatakan bahwa hukum pidana hanya digunakan sebagai upaya terakhir untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, sebagaimana dikutip dari fahum.umsu.ac.id.
Menurut asas tersebut, hukum pidana menjadi jalan terakhir atau upaya terakhir setelah semua cara lain, seperti sanksi administratif atau perdata, tidak dapat menyelesaikan masalah.
Asas ini mendorong penyelesaian masalah melalui jalur yang lebih ringan dan non-pidana terlebih dahulu, sebelum akhirnya menjatuhkan sanksi pidana
"Damai bersyarat ya. Jadi, minta maaf dan minta mundur, itu gugatan saya cabut. Tapi kalau enggak mundur, saya berupaya melalui upaya hukum ultimatum remedium," tandas Subhan.
Sidang akan kembali dilanjutkan dengan agenda mediasi pada Senin (13/10/2025) mendatang.
Adapun data pendidikan Gibran yang dipakai untuk mendaftar sebagai calon wakil presiden RI (cawapres) pada Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 lalu dinilai janggal.
Terutama pada pendidikan menengah yang tercantum di Komisi Pemilihan Umum RI (KPU), yakni:
- (setara SMA), Orchid Park Secondary School Singapore, tahun 2002-2004
- (setara SMA), University of Technology Sydney (UTS) Insearch di Australia, tahun 2004-2007
- (Sarjana atau S1), Management Development Institute of Singapore (MDIS), tahun 2007-2010
(Tribunnews.com/Rizki A./Wahyu Gilang P./Ibriza Fasti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.