Kamis, 9 Oktober 2025

Kasus Dugaan Korupsi di Kemendikbud

Ahli Pidana di Sidang Praperadilan Nadiem: SPDP Tidak Perlu Diberikan Jika Belum Ditemukan Tersangka

Suparji pun membenarkan langkah yang diambil penyidik yang tidak menyerahkan SPDP lantaran belum menyebutkan sosok tersangka.

Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan
PRAPERADILAN NADIEM MAKARIM: Sidang lanjutan praperadilan Eks Mendikbudristek Nadiem Makarim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/10/2025). Dalam sidang ini Kejaksaan Agung menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Suparji Achmad. 

Hal itu dibeberkan oleh penyidik Jampidsus dalam eksepsi atau jawaban dalam sidang praperadilan yang diajukan Nadiem Makarim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).

Penyidik membeberkan, bahwa kasus rasuah ini berawal dari Surat Perintah Penyelidikan (Sprinlidik) Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus tanggal 16 Juni 2023. Setelah itu penyelidik menyampaikan rekomendasi penyelidikan kepada Jampidsus pada 19 Mei 2025.

Setelah itu untuk mengumpulkan alat bukti, membuat terang perkara dan menemukan tersangkanya, Dirdik Jampidsus pun menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor Prin 38 pada 20 Mei 2025.

"Yang mana Sprindik tersebut merupakan Sprindik umum yang belum menyebutkan nama tersangkanya," kata penyidik Jampidsus di ruang sidang.

Oleh karena itu Kejaksaan Agung pun kemudian menerbtikan SPDP atas dasar Sprindik yang belum menyebutkan nama tersangkanya itu kepada penuntut umum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130.

Selain itu dijelaskan penyidik bahwa Dirdik Jampidsus juga telah bersurat kepada Ketua KPK terkait pemberitahuan penyidikan tindak pidana korupsi dengan nomor surat R. 162 tertanggal 21 Mei 2025.

"Bahwa adanya Sprindik Dirdik Jampidsus belum menyebutkan nama tersangka, maka SPDP perkara tindak pidana korupsi tidak diberikan kepada pemohon Nadiem Anwar Makarim," jelasnya.

Baca juga: Kejagung: Ada atau Tidak Aliran Dana ke Nadiem Makarim Bukan Syarat Penetapan Tersangka

Klaim Kubu Nadiem Makarim Soal SPDP

Terkait hal ini sebelumnya, kuasa hukum Nadiem Makarim menilai, penetapan tersangka eks Mendikbud itu cacat formil.

Hal itu disampaikan kuasa hukum Nadiem Makarim selaku pemohon, dalam sidang praperadilan kasus dugaan korupsi proyek laptop chromebook di Kemdikbud 2019-2022, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, pada Jumat (3/10/2025).

Dalam perkara ini, pihak termohon ialah Kejaksaan Agung (Kejagung) RI cq Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).

"Penetapan tersangka terhadap pemohon yang didasarkan pada Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Prin-38/F.2/Fd.2/05/2025 tanggal 20 Mei 2025, serta penerbitan Surat Perintah Penahanan Nomor: PRIN-55/F.2/Fd.2/09/2025 tertanggal 4 September 2025 a.n tersangka Nadiem Anwar Makarim adalah cacat formil serta sudah sepatutnya dinyatakan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum," kata satu dari beberapa kuasa hukum Nadiem Makarim, dalam persidangan, Jumat.

Menurut tim kuasa hukum, penetapan status tersangka dan penahanan Nadiem Makarim dilakukan pihak Kejaksaan Agung dilakukan tanpa diterbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terlebih dahulu sebelum melakukan upaya paksa maupun setelah dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan.

"Bahwa dalam hal ini, termohon telah menetapkan pemohon sebagai tersangka dimulai dengan Surat Perintah Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Prin-67/F.2/Fd.2/09/2025 pada tanggal 4 September 2025 a.n Nadiem Anwar Makarim dan pada hari yang sama melakukan penahanan terhadap pemohon atas dasar Surat Perintah Penahanan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRIN-55/F.2/Fd.2/09/2025 pada tanggal 4 September 2025 a.n Nadiem Anwar Makarim tanpa diterbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terlebih dahulu sebelum melakukan upaya paksa maupun setelah dikeluarkan Surat Perintah Penyidikan," jelasnya.

Ia menjelaskan, walaupun KUHAP tidak secara spesifik mewajibkan penyidik untuk menerbitkan produk hukum berbentuk SPDP sebelum dilakukannya upaya paksa, kebiasaan dalam praktik penyidikan, baik di Kejaksaan maupun di Kepolisian telah menerapkan Pasal 108 ayat (1) KUHAP dengan menerbitkan SPDP untuk memberitahkan kepada terlapor atau terperiksa bahwa ia akan diperiksa atas suatu tindak pidana yang dituduhkan ketentuan tersebut.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved