Sabtu, 11 Oktober 2025

5 Fakta Pemerintah Wajibkan BBM Etanol 10 Persen, Sebelumnya Etanol 3,5 Persen Ditolak SPBU Swasta

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) mengeluarkan wacana untuk mewajibkan campuran etanol 10 persen pada BBM.

Tribunnews/Rahmat Fajar Nugraha
ETANOL 10 PERSEN - Dalam foto: Situasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina di kawasan Serpong, Tangsel, pada Sabtu (20/9/2025). Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) mengeluarkan wacana untuk mewajibkan campuran etanol 10 persen (E10) pada bahan bakar minyak (BBM). 

TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) mengeluarkan wacana untuk mewajibkan campuran etanol 10 persen (E10) pada bahan bakar minyak (BBM).

Wacana mandatori campuran etanol 10 persen ini mencuat pada awal Oktober 2025, berikut fakta-faktanya:

1. Bahlil Sebut Sudah Disetujui Prabowo

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia mengungkapkan wacana kewajiban campuran etanol 10 persen ini pada Selasa (6/10/2025) dan menyebut sudah disetujui Presiden RI Prabowo Subianto.

Saat ini, diketahui pencampuran etanol pada BBM diterapkan sebesar 5 persen (E5) pada produk Pertamax Green 95.

Adapun Pertamax Green 95 adalah jenis BBM yang diklaim lebih ramah lingkungan dan diluncurkan pada 20 Juni 2023 berupa campuran Pertamax dan nabati etanol yang berasal dari tanaman tebu.

Namun, Pertamax Green 95 baru tersedia di beberapa kota saja.

 "Ke depan, kita mendorong untuk ada E10. Kemarin juga kami rapat dengan Bapak Presiden, Bapak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10 persen etanol," ungkap Bahlil dalam acara bertema Indonesia Langgas Energi di Sarinah, Jakarta, Selasa kemarin.

2. Tujuan Mandatori Etanol 10 Persen

Menurut Bahlil, campuran etanol 10 persen bertujuan untuk menekan penggunaan energi fosil dan mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar. 

Sebab, etanol berasal dari tanaman yang ada di dalam negeri, seperti tebu, jagung, dan singkong.

Baca juga: Boyamin Saiman: Gugatan ke Menteri ESDM Bahlil Lahadalia Bisa Atasi Kelangkaan BBM di SPBU Swasta

Campuran etanol 10 persen ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mencapai kemandirian energi, sehingga tidak bergantung pada energi fosil yang selama ini banyak dipasok dari impor.

Ia juga mengklaim, campuran etanol akan lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil. 

"Kita akan campur bensin kita dengan etanol, tujuannya agar kita tidak impor banyak, dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan," tutur Bahlil.

3. Perlu 2-3 Tahun untuk Diimplementasikan

Bahlil menyebut, masih butuh waktu untuk mengembangkan dan mengimplementasikan penerapan campuran etanol 10 persen.

"E10 masih dalam pembahasan, kita menguji coba dulu. Sudah dinyatakan clear, bagus, baru kita jalankan. Butuh 2-3 tahun terhitung dari sekarang. Jadi kita harus hitung baik-baik dulu," ucap Bahlil.

4. Mandatori Etanol 10 Persen Muncul setelah SPBU Swasta Tak Mau Beli Base Fuel dari Pertamina karena Ada Etanol 3,5 Persen

Mandatori etanol 10 persen muncul setelah polemik kelangkaan BBM di sejumlah SPBU swasta, terutama pada periode Agustus - Oktober 2025.

Kelangkaan ini terutama menimpa BBM non-subsidi seperti RON 92 (Shell Super), RON 95 (Shell V-Power), dan RON 98 (Shell V-Power Nitro+), yang dijual oleh operator swasta seperti Shell, BP-AKR, Vivo Energy, dan ExxonMobil.

Hal tersebut dipicu oleh kebijakan baru pemerintah terkait periode izin impor BBM dari 1 tahun menjadi 6 bulan.

Lalu, pemerintah menerapkan skema impor BBM "satu pintu" melalui Pertamina, di mana SPBU swasta diwajibkan membeli base fuel (BBM murni sebelum dicampur aditif) dari Pertamina Patra Niaga.

Akan tetapi, pada awal Oktober 2025 ini, sejumlah SPBU swasta batal membeli base fuel BBM dari Pertamina karena adanya kandungan etanol 3,5 persen. 

Adapun SPBU swasta yang membatalkan pembelian tersebut adalah Vivo dan BP-AKR.

Pembatalan pembelian base fuel BBM dari Pertamina oleh SPBU swasta ini disampaikan oleh Wakil Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Ahmad Muchtasyar dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XII DPR di Jakarta, Rabu (1/10/2025).

"Setelah dua SPBU swasta itu berdiskusi kembali dengan kami, Vivo membatalkan untuk melanjutkan (pembelian BBM). APR akhirnya tidak juga, jadi tidak ada semua. Isu yang disampaikan kepada rekan-rekan SPBU ini adalah mengenai konten. Kontennya itu ada kandungan etanol," kata Ahmad Muchtasyar.

Temuan kandungan etanol 3,5 persen tersebut mengacu pada hasil uji lab atas sampel BBM dari Pertamina yang sedianya akan dibeli Vivo.

Uji laboratorium yang dilakukan pada kargo MT Sakura, kapal tanker yang mengangkut BBM Pertamina sebanyak 100 ribu barel RON 92 tanpa aditif dan pewarna, menunjukkan adanya kandungan etanol 3,5 persen.

Vivo sebelumnya menyatakan sepakat membeli 40.000 barel base fuel pada 26 September 2025. Pertamina kemudian menyiapkan pasokan 100.000 barel khusus untuk kebutuhan SPBU swasta. 

Namun, setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, keduanya memutuskan untuk tidak melanjutkan kesepakatan.

Kandungan etanol sejatinya diperbolehkan hingga kadar 20 persen sesuai regulasi.

Pihak SPBU swasta menilai, komposisi dengan kadar etanol 3,5 persen tidak sesuai dengan spesifikasi produk masing-masing.

5. Kata Pakar Soal Campuran Etanol pada BBM

Campuran etanol pada BBM yang digunakan kendaraan di Indonesia memiliki dampak positif dan negatif.

Menurut Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) sekaligus pakar bahan bakar serta pelumas Tri Yuswidjajanto Zaenuri, etanol memiliki pengaruh untuk menaikkan oktan pada bahan bakar.

"Pertama, pengaruh positifnya menaikkan oktan. Kedua, berkontribusi mengurangi emisi CO2," papar Yuswidjajanto. 

Yuswidjajanto menerangkan, siklus etanol terbilang pendek, karena berasal dari tumbuh-tumbuhan, jadi menyerap CO2, lalu diolah menjadi bahan bakar, dipakai di kendaraan, dan menghasilkan CO2 lagi.

"Jadi, siklusnya kan pendek ya. Maka itu, disebut sebagai carbon neutral, tidak menambahkan CO2 di udara," katanya.

Meski begitu, ada dampak negatif yang harus dipertimbangkan dari adanya campuran etanol pada bahan bakar.

Terutama pada kendaraan berusia tua di Indonesia, yang notabene merupakan negara yang tidak menerapkan batas usia pakai kendaraan.

Dikhawatirkan, penggunaan dapat berdampak pada material kendaraan yang terbilang tua.

"Kalau untuk kendaraan modern, itu hampir semua memastikan bahwa kendaraannya siap untuk menggunakan etanol sampai 20 persen," ucapnya.

"Tapi, di Indonesia kan tidak ada pembatasan usia pakai kendaraan. Kendaraan dari dulu sampai sekarang juga masih banyak di jalan. Artinya, materialnya belum tentu compatible dengan etanol. Misalnya, silnya, selang-selangnya, nanti jangan-jangan melar," kata Yuswidjajanto.

Selain itu, kondisi iklim di Indonesia yang lembap turut berpengaruh karena sifat etanol yang hidroskopis yang dapat menarik uap air.

"Kadar airnya di dalam bahan bakar itu, karena penjualannya mungkin yang lambat, akan naik terus. Jadi, kalau dasar airnya itu sampai lebih dari 1 persen, muncul air bebas. Air yang mengendap di dasar tangki," ujarnya.

"Kalau ada air bebas, etanol itu lebih suka bereaksi dengan air. Jadi, etanolnya ikut turun. Kalau etanolnya ikut turun, berarti RON-nya akan turun," kata Yuswidjajanto.

Dengan kondisi tersebut, penggunaan etanol di Indonesia perlu dipertimbangkan lebih matang; dibutuhkan kesiapan kendaraan dan regulasi maupun sosialiasi yang memadai demi kelancaran transisi energi.

(Tribunnews.com/Rizki A.) 

Artikel ini diolah dari Kompas.com Kompas.com dan Tribunnews.com

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved