Selasa, 14 Oktober 2025

KUHP Baru Berlaku 2026, Tiga Poin Utama Penjelasan Prof Pujiyono

Guru Besar UNS Prof. Pujiyono Suwandi menekankan urgensi reformasi hukum acara pidana Indonesia agar selaras dengan KUHP baru yang akan berlaku 2026. 

Tribunnews.com/Chrysnha
KUHP BARU - Guru Besar Fakultas Hukum UNS, Prof. Pujiyono Suwandi, saat menjadi keynote speaker seminar 'Menimbang Progresi dan Regresi Reformasi Hukum Acara Pidana Indonesia: Menelisik Manifestasi Due Procces of Law RUU KUHAP' pada Minggu (12/10/2025). Prof. Pujiyono menyoroti beberapa poin, seperti tujuan dan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 51 hingga 56 KUHP baru, yang absen di KUHP lama. 

TRIBUNNEWS.COM - Guru Besar Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Prof. Pujiyono Suwandi, menekankan urgensi reformasi hukum acara pidana Indonesia agar selaras dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan berlaku mulai 2026. 

Pernyataan ini disampaikan usai seminar bertema "Menimbang Progresi dan Regresi Reformasi Hukum Acara Pidana Indonesia: Menelisik Manifestasi Due Process of Law RUU KUHAP" yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Clinical Legal Education Fakultas Hukum UNS di Solo, Jawa Tengah, Minggu (12/10/2025). 

Acara ini menjadi wadah diskusi mendalam mengenai kemajuan dan kemunduran reformasi, khususnya dalam manifestasi due process of law pada Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Prof. Pujiyono, yang juga aktif dalam pengembangan ilmu hukum pidana, memaparkan bahwa KUHP nasional tahun 2023 membawa perubahan mendasar yang menuntut penyesuaian hukum formil. 

"Tahun depan itu kita akan masuk era baru yakni era KUHP yang akan berlaku kurang lebih dua setengah bulan lagi KUHP nasional yang baru KUHP tahun 2023 yang berlaku tahun depan 2026. Nah, dalam KUHP baru itu ada setidaknya tiga hal yang harus kemudian menjadi perhatian kita yang tiga hal ini menurut saya sama sekali berbeda dibanding dengan KUHP lama," ujarnya. 

Ia menyoroti ketiga aspek penting, yakni tujuan pemidanaan, jenis pidana, dan sistem peradilan pidana terpadu, yang baginya memerlukan KUHAP baru yang linier untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum.

Poin pertama yang ditekankan adalah tujuan dan pedoman pemidanaan yang diatur dalam Pasal 51 hingga 56 KUHP baru, yang absen di KUHP lama. 

Menurut Prof. Pujiyono, ketentuan ini menjadi panduan krusial bagi penyidik, jaksa, hingga hakim. 

"Misalnya contohnya di pasal 53 ketika ada benturan antara kepastian dan keadilan maka Hakim wajib memilih keadilan Itu poin ya," katanya. 

Selain itu, konsep mens rea atau niat jahat pelaku kini lebih ditekankan, sehingga "penyidik penuntut umum harus kemudian menggabungkan antara mens rea dan actus reusnya." 

Ia menambahkan bahwa hal ini menuntut kesadaran baru di kalangan penegak hukum untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.

Baca juga: Pasal-Pasal KUHP Baru Dinilai Rawan Kriminalisasi Kelompok Rentan

Aspek kedua berkaitan dengan jenis-jenis pemidanaan yang lebih beragam di KUHP baru, termasuk pidana pokok, tambahan, dan khusus untuk tindak pidana tertentu seperti korupsi. 

Prof. Pujiyono menyoroti perubahan signifikan pada pidana mati, yang kini bukan lagi pidana pokok mutlak. 

"Dalam KUHP baru kita orang kalau dihukum mati nanti 20 tahun berperilaku baik dia kemudian bisa dirubah menjadi seumur hidup. Sehingga pidana mati ga terlalu prioritas di KUHP baru, ini jadi perhatian," jelasnya. 

Pidana pokok baru seperti pengawasan dan kerja sosial juga diperkenalkan, yang memerlukan persetujuan terdakwa. 

"Penasehat hukum harus memberikan awareness juga kepada kliennya," tegasnya, sambil menekankan pergeseran semangat pemidanaan dari retributif ke korektif, rehabilitatif, dan restoratif. 

Ia khawatir, restorative justice yang kini menjadi semangat KUHP baru belum memiliki payung hukum yang jelas. 

"Ingat yang namanya restorative justice itu Umbrella regulation-nya Umbrella law-nya belum dikenal dalam ketentuan regulasi di kita, padahal semangat pemidanaan kita ada restoratif," ungkapnya.

Poin ketiga yang tak kalah penting adalah integrated criminal justice system, di mana proses penyidikan hingga eksekusi terpidana harus menjadi satu rangkaian terpadu. 

Prof. Pujiyono menjelaskan, KUHP baru memperkuat diferensiasi fungsional antarpenegak hukum, dengan distribution of power yang lebih seimbang. 

"Dalam sistem hukum pidana terpadu itu adalah rangkaian dari proses penyidikan yang di dalamnya ada penyelidikan hingga kemudian eksekusi dari terpidana itu satu rangkaian, nah oleh karena itu kita juga harus satu rangkaian," katanya. 

Ia merujuk Pasal 132 KUHP baru yang mengintegrasikan penyidikan dan penuntutan, sehingga KUHAP ke depan harus mengantisipasi peran masing-masing aktor, termasuk penyidik, jaksa, dan pengacara yang mewakili kepentingan publik dan terdakwa.

Menurut Prof. Pujiyono, ketiga perubahan ini menegaskan bahwa KUHAP lama tidak lagi linier dengan KUHP baru. 

"Syaratnya bukan hanya sekedar tambal sulam menurut saya tapi memang harus benar-benar berubah," tegasnya. 

Dirinya mendesak agar dalam waktu 2,5 bulan ke depan, DPR RI melalui Komisi III segera mengesahkan RUU KUHAP yang selaras. 

"Oleh karena itu dua setengah bulan ini kita dorong dan dukung penuh DPR RI untuk bisa kemudian apa namanya melakukan dan mengesahkan KUHAP baru," ajaknya. 

Pernyataan ini sejalan dengan tema seminar yang membahas progresi dan regresi reformasi, di mana due process of law menjadi kunci untuk mencegah kemunduran hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana.

Seminar yang dihadiri mahasiswa, dosen, dan praktisi hukum ini diharapkan menjadi momentum advokasi lebih luas. 

Prof. Pujiyono menutup pernyataannya dengan optimisme bahwa reformasi ini akan memperkuat supremasi hukum di Indonesia, asal didukung oleh kesadaran kolektif dari semua pemangku kepentingan.

(Tribunnews.com/ Chrysnha)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved