Polemik RUU KKS, Menkum Tegaskan Penyidik TNI Hanya Menangani Ranah Militer
Kewenangan penyidik TNI dalam RUU KKS terbatas hanya untuk menangani tindak pidana siber yang dilakukan oleh anggota TNI.
Ringkasan Berita:
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas, menegaskan kewenangan penyidik dari unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) terbatas hanya untuk menangani tindak pidana siber yang dilakukan oleh anggota TNI.
Penegasan itu disampaikan merespons kekhawatiran adanya peluang keterlibatan militer di ranah sipil, termasuk kewenangan penyidikan oleh penyidik TNI terhadap kasus siber.
Baca juga: Komnas HAM Minta Pembahasan RUU KKS Ditunda, Sebut Buka Ruang Penyidik TNI Terhadap Kasus Siber
"Yang isu krusial kemarin yang dipersoalkan adalah kan menyangkut soal penyidik oleh TNI. Itu tidak perlu diatur. Karena yang namanya penyidik TNI boleh kalau pelakunya adalah TNI," kata Supratman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) adalah rancangan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun oleh pemerintah Indonesia untuk mengatur tata kelola, perlindungan, dan penanganan ancaman di ruang siber nasional.
RUU ini merupakan inisiatif pemerintah, dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai lembaga pengusul utama, dan ditujukan untuk memperkuat keamanan serta ketahanan Indonesia di dunia digital.
Supratman mengatakan, ketentuan mengenai penyidik TNI sudah diatur secara jelas dalam undang-undang yang berlaku.
TNI dapat menjadi penyidik hanya apabila pelaku tindak pidana berasal dari kalangan TNI itu sendiri.
Supratman menambahkan, ketentuan tersebut akan mengikuti prinsip yang juga akan berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang saat ini sedang dibahas.
"Kita kan mau sahkan KUHAP. Jadi kalau pelakunya TNI ya otomatis (penyidiknya TNI juga). Tapi tidak perlu di-statement di undang-undang," ucapnya.
Supratman juga menjelaskan, dalam RUU KKS terdapat satu ketentuan pidana yang diatur secara eksplisit.
Yakni terkait pemberatan hukuman jima tindak pidana dilakukan terhadap objek vital negara.
"Yang kedua, ada ketentuan pidana terkait satu aja. Kalau ada pemberatannya. Kalau terkait dengan hal-hal yang vital buat negara, maka itu ada pemberatannya. Makanya diatur," ujarnya.
"Karena di Undang-Undang TNI maupun KUHP kita tidak mengatur soal tindak pidana dengan pemberatan," pungkasnya.
Kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil
Meskipun pemerintah telah memberikan jaminan, pelibatan TNI dalam RUU KKS tetap menuai kritik tajam dari Koalisi Masyarakat Sipil.
Koalisi yang terdiri dari Raksha Initiatives, Centra Initiative, Imparsial, dan De Jure menilai Pasal 56 ayat (1) huruf d yang memberikan wewenang penyidikan kepada TNI berpotensi besar mengancam hak asasi manusia dan prinsip negara hukum.
"Pelibatan TNI sebagai penyidik tindak pidana keamanan dan ketahanan siber justru akan semakin mengancam hak asasi manusia dan negara hukum," kata Koalisi dalam siaran persnya, Sabtu (4/10/2025).
Koalisi berpandangan bahwa peran tersebut bertentangan dengan UUD 1945 yang mengamanatkan TNI sebagai alat pertahanan negara, bukan penegak hukum.
Mereka khawatir pasal ini akan menjadi pintu masuk bagi intervensi militer dalam kehidupan sipil dan mencederai prinsip supremasi sipil.
Lebih lanjut, koalisi menyoroti risiko penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) karena belum adanya reformasi pada UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Akibatnya, setiap anggota TNI yang melakukan pelanggaran pidana umum akan tetap diadili di peradilan militer, bukan peradilan umum, yang dinilai tidak memiliki mekanisme akuntabilitas yang memadai.
Untuk diketahui, RUU KKS telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2026 dan akan segera diserahkan ke DPR RI untuk dibahas lebih lanjut setelah drafnya rampung di tingkat pemerintah.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.