Jumat, 31 Oktober 2025

Gelar Pahlawan Nasional

7 Pihak Tolak Usulan Jadikan Soeharto Pahlawan Nasional, Lengkap Alasan

Selain Ribka Tjiptaning, sejumlah pihak lebih dulu menolak usulan menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

AGUS LOLONG / AFP FILES
GELAR PAHLAWAN - File foto tertanggal 22 Mei 1998 ini menunjukkan mantan Presiden Indonesia Soeharto memberi hormat kepada para pengawal dan staf saat meninggalkan Istana Kepresidenan di Jakarta tak lama setelah mengumumkan pengunduran dirinya pada 21 Mei. Penolakan terhadap usulan menjadikan Presiden ke-2 RI, Soeharto, mendapat gelar Pahlawan Nasional datang dari berbagai pihak. (Foto Arsip Mei 1998) 
Ringkasan Berita:
  • Tak sedikit tokoh dan lembaga menolak usulan Soeharti jadi Pahlawan Nasional
  • Mulai dari politikus hingga pengamat politik, umumnya beralasan karena Presiden ke-2 RI itu pernah melakukan pelanggaran HAM
  • Di sisi lain, Ketua MPR mengaku tinggal menunggu presiden untuk langkah selanjutnya

TRIBUNNEWS.COM - Penolakan terhadap usulan menjadikan Presiden ke-2 RI, Soeharto, mendapat gelar Pahlawan Nasional datang dari berbagai pihak.

Terbaru datang dari Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Ribka Tjiptaning, yang beralasan banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi semasa Soeharto memimpin.

Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah Indonesia dan telah gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara.

Gelar ini merupakan bentuk penghargaan negara tertinggi atas jasa, pengabdian, dan karya luar biasa yang berdampak besar bagi kemerdekaan atau pembangunan bangsa.

Mekanisme pemberian gelar Pahlawan Nasional melalui pengusulan, verifikasi atau penilaian, sidang dewan gelar hingga penerbitan Keppres oleh presiden. 

Adapun Tribunnews merangkum 7 pihak yang menolak usulan Soeharto jadi Pahlawan Nasional, ini paparannya:

1. Ribka Tjiptaning

Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning menjadi narasumber dalam diskusi publik Memperingati 26 Tahun Peristiwa 27 Juli yang digelar di kantor DPP PDIP, di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta, Kamis (21/7/2022).
Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning menjadi narasumber dalam diskusi publik Memperingati 26 Tahun Peristiwa 27 Juli yang digelar di kantor DPP PDIP, di Jalan Diponegoro 58, Menteng, Jakarta, Kamis (21/7/2022). (Chaerul Umam)

Ribka menolak keras usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 Soeharto

"Kalau pribadi oh saya menolak keras. Iya kan?" kata Ribka di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (28/10/2025).

Ribka mempertanyakan alasan agar Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun itu untuk diberi gelar Pahlawan Nasional. 

"Apa sih hebatnya si Soeharto itu sebagai pahlawan hanya bisa memancing, eh apa membunuh jutaan rakyat Indonesia," ujarnya.

Baca juga: Ribka PDIP Tolak Soeharto Jadi Pahlawan Nasional: Pelanggar HAM Tak Pantas

Ia menilai, mantan Panglima Komando Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) itu tak pantas diberi gelar Pahlawan Nasional.

Sebab, selama ia berkuasa menjadi presiden, banyak pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi.

"Sudah lah, pelanggar HAM, membunuh jutaan rakyat. Belum ada pelurusan sejarah, sudah lah enggak ada pantasnya dijadikan pahlawan nasional," ucap Ribka.

2. Esti Wijayati

HARI KEBUDAYAAN NASIONAL - Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP, MY Esti Wijayati, dalam rapat kerja di Gedung DPR RI, Jakarta, belum lama ini. Esti mengkritisi penetapan Hari Kebudayaan Nasional (HKN) setiap 17 Oktober oleh Kementerian Kebudayaan yang bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto. 
HARI KEBUDAYAAN NASIONAL - Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP, MY Esti Wijayati, dalam rapat kerja di Gedung DPR RI, Jakarta, belum lama ini. Esti mengkritisi penetapan Hari Kebudayaan Nasional (HKN) setiap 17 Oktober oleh Kementerian Kebudayaan yang bertepatan dengan hari lahir Presiden Prabowo Subianto.  (dpr.go.id)

 Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati, mempertanyakan rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Esti menilai, langkah tersebut berpotensi menimbulkan kontradiksi historis dan logis dalam perjalanan bangsa.

"Tentu ada beberapa hal yang perlu diverifikasi terlebih dahulu, bagaimana nanti nasib para reformis ketika kemudian beliau diberi gelar pahlawan nasional. Berarti dia melawan pahlawan nasional, ada kontradiksi yang tidak mungkin itu bisa selesai begitu saja," kata Esti di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Esti menekankan, pemerintah perlu mempertimbangkan nasib para korban pelanggaran HAM pada masa Orde Baru. 

Apalagi, kata dia, di antara calon penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini juga terdapat nama Marsinah, aktivis buruh yang tewas memperjuangkan hak-hak pekerja pada era Orde Baru.

"Pemahamannya juga menjadi enggak clear ketika juga di situ muncul nama-nama yang merupakan korban HAM pada saat itu. Nah kemudian mereka yang menjadi korban ini harus bersama-sama menerima gelar pahlawan, ini logikanya dari mana? Nah saya kira ini juga perlu diclearkan terlebih dahulu," ujarnya.

Esti memastikan, Komisi X DPR akan membahas isu ini secara mendalam bersama kementerian terkait.

"Ya Komisi X kan bagian dari ketugasan kami. Ketika sudah diusulkan oleh Kementerian Sosial, lah kemudian nanti ada pembahasan dengan Kementerian Kebudayaan berkaitan dengan pemberian gelar-gelar itu," imbuhnya.

3. Amnesty International Indonesia

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan usulan Soeharto jadi pahlawan nasional cederai amanat reformasi.

GELOMBANG DEMO - Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, saat ditemui di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (4/9/2025).
GELOMBANG DEMO - Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, saat ditemui di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (4/9/2025). (Tribunnews.com/Alfarizy)

“Pernyataan Mensesneg Prasetyo Hadi ahistoris dan tidak sensitif terhadap perasaan korban-korban pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi selama Orde Baru," kata Usman Hamid, Rabu, (23/4/2025).

Usulan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, kata Usman Hamid mencederai amanat reformasi yang memandatkan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat. Yang terjadi selama 32 tahun Soeharto memimpin Indonesia dengan tangan besi. 

"Keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu hingga hari ini masih mendambakan keadilan yang tak kunjung datang. Oleh karena itu, usulan tersebut harus ditolak jika negara masih memiliki komitmen terhadap penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu," sambungnya.

Kemudian dikatakan Usman Hamid bahwa Soeharto berperan dalam kekerasan negara yang bersifat sistematis terhadap rakyatnya, pembredelan media massa, pelanggaran berat HAM, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur. 

"Tanpa mempertimbangkan semua masalah tersebut, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hanyalah upaya menghapus dosa-dosa Soeharto dan memutarbalikkan sejarah," tegasnya.

4. Direktur IPO

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyoroti wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Kedua RI Soeharto.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah
GELAR PAHLAWAN NASIONAL - Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah. Penolakan terhadap usulan menjadikan Presiden ke-2 RI, Soeharto, mendapat gelar Pahlawan Nasional datang dari berbagai pihak. (indonesiainside.id)

Menurutnya wacana yang digagas Kementerian Sosial (Kemensos) tersebut merupakan ide usang.

"Usulan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tidak miliki urgensi, sematan pahlawan tidak membuat jasa Soeharto bertambah, pun jika tanpa gelar sekalipun tidak membuat jasa Soeharto hilang, ia tetap bapak pembangunan nasional Indonesia," kata Dedi, Sabtu (3/5/2025).

Kemudian diungkapkannya wacana tersebut menandakan minimnya gagasan.

"Ide semacam ini usang, menandai minimnya gagasan kementerian sosial dalam rangka menyejahterakan masyarakat," terangnya.

Menurutnya, Kemensos seharusnya segera menyelesaikan persoalan sosial yang ada di tengah masyarakat.

"Isu kesejahteraan, konflik publik hingga pemerataan bantuan negara pada masyarakat yang lebih merata dan berdampak," paparnya.

5. Komnas HAM

Anis Hidayah, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mempertanyakan wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Mantan Presiden RI Soeharto.

BENDERA ONE PIECE - Ketua Komnas HAM Anis Hidayah, saat ditemui di Jakarta Pusat, pada Rabu (6/8/2025). Anis menilai respons pemerintah soal fenomena bendera One Piece berlebihan.
BENDERA ONE PIECE - Ketua Komnas HAM Anis Hidayah, saat ditemui di Jakarta Pusat, pada Rabu (6/8/2025). Anis menilai respons pemerintah soal fenomena bendera One Piece berlebihan. (Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami)

Dikutip dari Kompas.com, Anis menilai, wacana tersebut bertentangan dengan semangat reformasi dan nilai-nilai konstitusi.

Bahkan, Anis menyinggung soal kepantasan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.

"Jadi, saya kira penting untuk dikembalikan pertanyaannya kepada kita semua. Apakah pantas? Saya bertanya kepada teman-teman yang hadir pada siang hari ini, apakah pantas seseorang yang kemudian mendorong kita semua untuk melahirkan reformasi kemudian akan diberikan gelar sebagai pahlawan?" tanya Anis, dalam sebuah diskusi publik yang digelar bertemakan "Soeharto, Pahlawan atau Penjahat HAM", Sabtu (24/5/2025).

Anis lantas mengingatkan kepada para peserta yang kebanyakan adalah aktivis reformasi 1998 tentang perjuangan reformasi.

Menurut dia, semua aktivis kala itu sepakat bahwa reformasi hadir karena ada pemimpin yang bertindak di luar dari tujuan konstitusi. 

Pemimpin yang ia maksud adalah Presiden RI Ke-2, Soeharto

Anis menyebut, Soeharto bahkan sudah membuat kerusakan dan menjauhkan masyarakat dari nilai keadilan sosial sebagaimana yang tertuang dalam Pancasila.

“Kenapa 27 tahun lalu bangsa kita melakukan reformasi? Saya kira sangat jelas gitu ya, bagaimana pemimpin yang diktator, yang melahirkan, yang keluar dari tujuan sebagaimana ada di dalam konstitusi kita, bangsa yang adil, bangsa yang sejahtera, bangsa yang bebas, merdeka, itu justru tidak diwujudkan," ucap Anis.

"Tetapi sebaliknya, (Soeharto) membangun kerusakan-kerusakan yang kemudian makin menjauhkan masyarakat kita dari keadilan sosial yang dimandatkan di dalam konstitusi dan Pancasila," tambah dia.

Ia menilai, pemberian gelar pahlawan tidak bisa dilepaskan dari makna mendasar tentang siapa yang layak disebut pahlawan.

Menurut dia, negara sudah memiliki definisi normatif melalui undang-undang mengenai gelar dan tanda kehormatan.

“(Pahlawan) Orang yang sudah berkontribusi untuk bangsa, berkarya nyata, memberikan kontribusi untuk kemajuan kesejahteraan bagi bangsa kita. Itu sudah sangat jelas. Jadi saya kira ketika gelar pahlawan akan diberikan kepada siapapun, pihak manapun yang mengusulkan, itu mesti kembali kepada hal yang paling prinsip dari makna pahlawan itu sendiri," kata dia.

6. KontraS

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menolak rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 Soeharto.

"Sosok Soeharto tidak layak menjadi Pahlawan Nasional lantaran rekam jejaknya dalam kejahatan HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta gaya kepemimpinan otoriter selama 32 tahun menjabat," kata Kepala Divisi Impunitas KontraS, Jane Rosalina Rumpia, kepada Tribunnews.com, Senin (27/10/2025).

Jane menegaskan, gelar Pahlawan Nasional seharusnya adalah bentuk penghargaan tertinggi dari negara. 

Ia menyebut, gelar itu seharusnya diberikan kepada individu yang telah berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, menjaga keutuhan negara, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan moralitas publik. 

"Selama masa Orde Baru, ia (Soeharto) menjalankan pemerintahan dengan pola kekuasaan yang otoriter dan represif yang berdampak luas terhadap kehidupan rakyat Indonesia," ujar Jane.

KontraS mencatat, sejumlah kebijakan dan operasi keamanan pada masa pemerintahan Soeharto mengakibatkan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM). 

Bentuk pelanggaran itu, antara lain, pembunuhan, penghilangan paksa, penyiksaan, kekerasan seksual, serta perampasan tanah dan diskriminasi sosial yang sistematis.

Menurut Jane, penyelidikan pro-yustisia Komnas HAM berdasarkan Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menemukan sedikitnya sembilan peristiwa pelanggaran HAM berat terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto.

Peristiwa itu antara lain: peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius (1982-1985), Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Rumoh Geudong dan Pos Sattis (1989-1998).

Kemudian, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, peristiwa Trisakti (1998), Semanggi I (1998), dan Semanggi II (1999); Peristiwa Mei 1998; dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998-1999).

Selain itu, kata Jane, pada masa Orde Baru juga terjadi berbagai pelanggaran HAM lain, seperti pembunuhan aktivis buruh Marsinah (1993), pembunuhan wartawan Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin (1996), penembakan warga dalam pembangunan Waduk Nipah di Madura (1993), penyerangan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996, hingga pembantaian di Santa Cruz, Dili (1991).

Baca juga: Layakkah Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto?

KontraS juga menyoroti pembredelan media massa, penggusuran warga untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (1971), pelarangan aktivitas organisasi mahasiswa melalui Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (1974–1975), serta pemberangusan organisasi kemasyarakatan lewat UU No. 5 Tahun 1985.

"Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional berarti juga menutup mata terhadap luka sejarah dan trauma kolektif yang belum pulih, khususnya bagi perempuan korban kekerasan negara," tegas Jane.

Terpisah, Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, menyinggung soal tanggung jawab hukum Soeharto dalam kasus korupsi. 

Ia mengutip Putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar, yang dipimpin Soeharto, melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada pemerintah senilai total sekitar Rp 4,4 triliun.

"Pendek kata, menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah tindakan yang salah dan melawan hukum negara," ucap Hendardi pada Senin.

7. Ganjar

Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP), Ganjar Pranowo, menilai Marsinah, aktivis buruh yang gugur saat memperjuangkan hak-hak pekerja, lebih layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Hal ini menanggapi rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto yang belakangan ramai diperbincangkan.

"Marsinah lebih memenuhi syarat," kata Ganjar kepada Tribunnews.com, Senin (27/10/2025).

Terkait usulan Soeharto jadi Pahlawan Nasional, Ganjar mengingatkan agar masyarakat tidak melupakan semangat dan agenda reformasi 1998 yang menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru.

"Semoga semua ingat agenda reformasi 1998," ujar mantan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) itu.

Marsinah dikenal sebagai buruh pabrik arloji yang ditemukan tewas pada 8 Mei 1993 di hutan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. 

Tubuhnya penuh luka dan tanda-tanda kekerasan, yang mengindikasikan ia disiksa sebelum dibunuh.

Kasus pembunuhan Marsinah hingga kini dikenang sebagai salah satu pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia pada masa pemerintahan Orde Baru.

MPR Tunggu Presiden

Ketua MPR RI, Ahmad Muzani mengatakan, rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden ke-2 RI Soeharto menunggu Keputusan Presiden (Keppres).

Ketua MPR RI, Ahmad Muzani membuka pelaksanaan World Muslim Scoud Jamboree 2025 di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, Selasa (9/9/2025) malam.
Ketua MPR RI, Ahmad Muzani membuka pelaksanaan World Muslim Scoud Jamboree 2025 di Bumi Perkemahan Cibubur, Jakarta Timur, Selasa (9/9/2025) malam. (dok. MPR RI)

"Ya kita tunggu keputusan presiden," kata Muzani di Bandung, Jawa Barat, Jumat (24/10/2025).

Menanggapi adanya penolakan dari sejumlah pihak, Muzani menjelaskan nama Soeharto telah dicabut dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

"Tetapi kalau dari sisi MPR kan pada periode lalu yang bersangkutan sudah dinyatakan clear," ujarnya.

Karena itu, mantan Sekretaris Jenderal Partai Gerindra ini menuturkan bahwa proses hukum dan politik terkait Soeharto telah dijalankan sesuai ketentuan yang berlaku.

"Dalam arti sudah menjalankan proses seperti yang ditetapkan dalam TAP MPR sehingga harusnya juga itu tidak menimbulkan problem lagi," ucap Muzani.

Adapun penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 disepakati dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019–2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (25/9/2024).

Dalam dokumen resmi MPR, sejumlah dasar hukum disebutkan menjadi pertimbangan bahwa kasus KKN Soeharto telah dianggap selesai.

Salah satunya adalah surat ketetapan perintah penghentian penuntutan (SKP3) yang diterbitkan Kejaksaan Agung pada 2006. 

Meski demikian, Kejagung tetap menggugat secara perdata sejumlah yayasan milik Soeharto, termasuk Yayasan Supersemar.

Pada 2015, Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) menyatakan Yayasan Supersemar melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar kerugian kepada negara. 

Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, sebelumnya menyatakan bahwa upaya hukum terhadap Soeharto secara pribadi telah berakhir.

"Dengan mempertimbangkan berbagai fakta hukum di atas maka kami bersepakat terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998, secara diri pribadi Bapak Haji Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan," kata Bamsoet, saat silaturahmi kebangsaan pimpinan MPR RI dengan keluarga Soeharto di Gedung Nusantara IV, Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9/2024).

Karena itu, Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, menuturkan upaya hukum kepada Soeharto secara pribadi sudah selesai. 

Apalagi, ketentuan pasal 77 KUHP juga menjelaskan tuntutan pidana dihapus jika tertuduh meninggal dunia.

"Jadi sudah dilaksanakan, dendam apalagi harus kita pertahankan. Kita adalah bukan bangsa pendendam," jelasnya.

Kementerian Sosial telah menyerahkan berkas 40 nama yang diusulkan untuk menjadi pahlawan nasional ke Menteri Kebudayaan (Menbud) sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon.

Beberapa nama yang tercantum dalam berkas tersebut antara lain adalah Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta tokoh buruh Marsinah.

Sejumlah nama lain yang juga diusulkan, adalah Syaikhona Muhammad Kholil, KH Bisri Syamsuri, KH Muhammad Yusuf Hasyim, Jenderal TNI (Purn) M Jusuf, dan Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin.

(Tribunnews.com)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved