Proyek Kereta Cepat
PDIP Duga Ada Permufakatan Jahat dalam Proyek Whoosh: Tiba-tiba Dialihkan dari Jepang ke China
Politisi PDIP menduga ada permufakatan jahat dalam proyek Whoosh, apalagi ada peralihan kerja sama dari Jepang ke China dalam pembangunan proyeknya.
Dalam kesempatan yang sama, menanggapi pernyataan Ferdinand itu, Ketua Jokowi Mania, Andi Azwan, meminta agar kasus ini sepenuhnya diserahkan kepada penegak hukum.
Dia berharap tidak ada fitnah yang menyebar terkait proyek Whoosh tersebut, sehingga tidak menggiring opini publik menjadi lebih buruk lagi.
“Kita percayakan semua kepada aparat penegak hukum. Jangan membuat suatu fitnah, jangan menggiring opini publik,” jawab Andi Azwan kepada Ferdinand.
Kronologi Peralihan Kerja Sama dari Jepang ke China
Salah satu kontroversi dalam pembangunan proyek Whoosh adalah terkait peralihan mitra dari Jepang ke China.
Proyek kereta cepat merupakan gagasan dari Jepang yang muncul pada era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode 2014-2015 lalu.
Saat itu, melalui JICA (Japan International Cooperation Agency), Jepang sudah melakukan studi kelayakan atau feasibility study meski belum diputuskan pemerintah Indonesia.
Bahkan, JICA rela menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan yang dilakukan bersama Kementerian Perhubungan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (kini BRIN).
Lalu, pada 2015, saat pemerintahan RI sudah beralih dari SBY ke Jokowi, diputuskan akan dibuat proyek kereta cepat untuk rute Jakarta-Bandung.
Proyek ini pun seolah menjadi rebutan karena tak hanya Jepang yang sudah berminat terlebih dahulu, tetapi China juga muncul sebagai tandingan.
Pada 26 Agustus 2015, Jepang menawarkan investasi sebesar 6,2 miliar dollar AS, dengan pinjaman proyek berbunga rendah 0,1 persen per tahun dengan tenor 40 tahun (tenggang 10 tahun), memakai skema Government-to-Government (G2G).
Selain itu, Jepang juga menawarkan jaminan pembiayaan dari pemerintah Jepang dan meningkatkan tingkat komponen produk dalam negeri Indonesia.
Namun, China datang dengan tawaran nilai investasi yang lebih murah dari Jepang, yakni sebesar 5,5 miliar dollar AS dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN.
Dari estimasi investasi ini, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun.
Ada perbedaan yang dinilai krusial antara tawaran Jepang dan China selain besaran nilai investasi proyek tersebut.
Pertama, berbeda dengan tawaran Jepang, China menjamin pembangunan KCJB ini tak menguras dana APBN Indonesia. Kedua, tawaran China berbeda dari proposal Jepang karena diklaim akan terbuka soal transfer teknologi kepada Indonesia.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.