Jumat, 7 November 2025

OTT KPK di Kementerian Tenaga Kerja

KPK Dalami Praktik Pemerasan TKA di Kemnaker Era Menteri Hanif Dhakiri

KPK tengah mendalami dugaan praktik pemerasan terkait pengurusan RPTKA di Kemnaker yang terjadi pada periode sebelumnya.

Tribunnews/Herudin
DUGAAN PRAKTIK PEMERASAN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami dugaan praktik pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang terjadi pada periode-periode sebelumnya, termasuk di era kepemimpinan Menteri Hanif Dhakiri. Foto Hanif Dhakiri saat diwawancarai secara khusus oleh Tribunnews di kantornya, di Jakarta Selatan, Rabu (16/10/2019). Tribunnews/Herudin 
Ringkasan Berita:
  • KPK mendalami dugaan praktik pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kemnaker yang terjadi pada periode-periode sebelumnya
  • Pendalaman ini menguat seiring penetapan Heri Sudarmanto Sekjen Kemnaker tahun 2018, sebagai tersangka baru dalam kasus ini
  • KPK menduga praktik pemerasan di Kemnaker ini telah berlangsung lama, bahkan sebelum rentang waktu 2019–2024 yang awalnya terungkap


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mendalami dugaan praktik pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) yang terjadi pada periode-periode sebelumnya, termasuk di era kepemimpinan Menteri Hanif Dhakiri.

Pendalaman ini menguat seiring penetapan Heri Sudarmanto (HS), Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemnaker tahun 2018, sebagai tersangka baru dalam kasus ini.

Baca juga: Eks Sekjen Kemnaker Tersangka, KPK Kirim Sinyal Periksa 3 Mantan Menteri Ini

Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengungkapkan, berdasarkan konstruksi perkara, KPK menduga praktik pemerasan di Kemnaker ini telah berlangsung lama, bahkan sebelum rentang waktu 2019–2024 yang awalnya terungkap.

"KPK menduga bahwa praktik-praktik dugaan pemerasan terkait dengan pengurusan RPTKA di Kementerian Ketenagakerjaan ini sudah terjadi sejak periode-periode sebelumnya," kata Budi kepada wartawan, Minggu (2/11/2025).

Untuk membuktikan dugaan tersebut, Budi menegaskan penyidik kini gencar melakukan strategi follow the money atau penelusuran aliran uang haram dari hasil pemerasan tersebut.

 

 

"Ini seperti apa polanya? Kepada siapa saja? Untuk apa saja? Nah ini tentu menjadi petunjuk bagi penyidik untuk kemudian mengungkap supaya perkara ini menjadi terang benderang," jelas Budi.

Konsekuensinya, KPK tidak hanya memanggil saksi-saksi yang saat ini bertugas di unit pengurusan RPTKA, tetapi juga mereka yang pernah berkecimpung di unit tersebut pada periode sebelumnya.

"Oleh karena itu, dalam proses penyidikannya, penyidik tidak hanya melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak yang saat ini, tapi juga pihak-pihak yang sebelumnya juga berkecimpung atau ada di dalam unit tersebut," ujar Budi.

Penetapan Heri Sudarmanto, yang menjabat Sekjen di era Menteri Hanif Dhakiri, menjadi pintu masuk penting untuk menelusuri dugaan korupsi di periode tersebut.

Sebagai tindak lanjut, Budi membenarkan tim penyidik telah menggeledah kediaman Heri Sudarmanto di Jakarta Selatan dan melakukan penyitaan aset.

"Betul, jadi kemarin penyidik melakukan penggeledahan di rumah Saudara HS dan mengamankan sejumlah dokumen yang diduga terkait," kata Budi. 

"Selain itu, penyidik juga melakukan penyitaan terhadap satu unit kendaraan roda empat yang diduga terkait dengan perkara ini," sambungnya.

Menurut Budi, penyitaan aset ini menjadi langkah awal positif bagi KPK untuk optimalisasi pemulihan aset (asset recovery).

Peran Heri Sudarmanto

Dalam keterangan KPK sebelumnya, Heri Sudarmanto diduga memiliki peran ganda, yakni terkait langsung dengan dugaan tindak pemerasan dan turut menerima aliran dana haram. 

Uang yang diterima Heri Sudarmanto diduga merupakan bagian dari total Rp 53,7 miliar yang dikumpulkan dari praktik pemerasan pada periode 2019–2024.

Penetapan Heri Sudarmanto menambah daftar panjang tersangka dalam skandal ini, menjadikannya tersangka kesembilan. 

Sebelumnya, KPK telah menjerat delapan pejabat dan staf di lingkungan Ditjen Binapenta dan PKK Kemnaker, termasuk dua mantan Dirjen, Haryanto (HY) dan Suhartono (SH).

Korupsi Sistematis

Kasus ini telah membongkar dugaan praktik korupsi yang terstruktur secara sistematis di Kemnaker

Menurut KPK, modus operandi yang digunakan adalah setiap permohonan RPTKA hanya akan diproses jika pemohon bersedia menyetorkan sejumlah uang di luar ketentuan resmi.

Praktik haram ini diduga telah berhasil mengumpulkan dana sedikitnya Rp 53,7 miliar selama rentang waktu 2019 hingga 2024.

Dana tersebut tidak hanya dinikmati oleh para pejabat teras, tetapi juga diduga dibagikan secara rutin kepada sekitar 85 pegawai di Direktorat PPTKA. 

Total dana yang dibagikan ke puluhan pegawai itu mencapai Rp 8,94 miliar, termasuk dalam bentuk Tunjangan Hari Raya (THR).

Dalam pengembangan penyidikan, KPK juga telah menyita total 44 bidang tanah di Karanganyar, Jawa Tengah. 

Aset puluhan bidang tanah itu diduga milik tersangka Jamal Shodiqin (JS), seorang staf Kemnaker, yang diduga mengelolanya untuk kepentingan tersangka Haryanto (HY), mantan Dirjen Binapenta dan PKK.

8 Tersangka Sebelumnya

Penetapan Heri Sudarmanto sebagai tersangka menyusul delapan orang lainnya yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK

Seluruh tersangka tersebut berasal dari lingkungan Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta dan PKK) Kemnaker.

Berikut adalah daftar delapan tersangka tersebut beserta dugaan aliran dana yang diterima:

  1. Haryanto (HY): Dirjen Binapenta dan PKK (2024–2025), sebelumnya Direktur PPTKA (2019–2024). Diduga menerima Rp 18 miliar.
  2. Putri Citra Wahyoe (PCW): Staf Direktorat PPTKA (2019–2024). Diduga menerima Rp 13,9 miliar.
  3. Gatot Widiartono (GTW): Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA (2021–2025). Diduga menerima Rp 6,3 miliar.
  4. Devi Anggraeni (DA): Direktur PPTKA (2024–2025). Diduga menerima Rp 2,3 miliar.
  5. Alfa Eshad (ALF): Staf Direktorat PPTKA (2019–2024). Diduga menerima Rp 1,8 miliar.
  6. Jamal Shodiqin (JS): Staf Direktorat PPTKA (2019–2024). Diduga menerima Rp 1,1 miliar.
  7. Wisnu Pramono (WP): Direktur PPTKA (2017–2019). Diduga menerima Rp 580 juta.
  8. Suhartono (SH): Dirjen Binapenta dan PKK (2020–2023). Diduga menerima Rp 460 juta.
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved