Sabtu, 8 November 2025

Penyintas Tragedi 1965 Tidak Sudi Soeharto Diberi Gelar Pahlawan Nasional

Penyerahan berkas ini merupakan tindak lanjut dari rapat yang dilakukan oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) atas usulan gelar pahlawan.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: willy Widianto
Tribunnews/Danang Triatmojo
KORBAN TRAGEDI 1965 - Utati, penyintas tragedi G30S tahun 1965 (tengah) dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Utati, penyintas tragedi 1965 tidak sudi Presiden ke-2 RI Soeharto dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh negara. Trauma yang dia alami 60 tahun silam masih tetap membekas dan dirasakan hingga kini. 

Baca juga: Bivitri Susanti Peringatkan Gelar Pahlawan Soeharto ‘Kembalikan UUD 1945 Awal’: Dampaknya Mengerikan

Ia menyebut pemberian gelar itu jadi pengkhianatan negara kepada para korban di masa Orde Baru."Menurut saya, penderitaan itu sampai sekarang masih kami alami. Jadi kalau presiden yang melakukan begitu banyak tekanan pada kami terus mau diangkat menjadi pahlawan nasional, itu rasanya kami tidak rela. Saya terutama ya, karena saya di sini sebagai korban langsung," kata Utati dalam konferensi pers koalisi sipil di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

Utati merupakan korban langsung dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S) di tahun 1965. Ia ditahan selama 11 tahun di penjara wanita Bukit Duri, Jakarta Selatan. 

Selama 11 tahun itu, Utati ditahan tanpa melewati pengadilan dan dibebaskan begitu saja tanpa diadili sebagaimana semestinya proses hukum. Utati menjadi satu dari sekian banyaknya tahanan politik di era Orde Baru. 

Selama mendekam 11 tahun di penjara, Utati dan tahanan politik lainnya berusaha tetap hidup dengan mempertahankan akal kewarasannya. "Dengan segala cara kami yang ada di situ jelas tidak mau mati konyol tapi berusaha untuk bertahan bisa hidup keluar dengan akal yang masih waras," tuturnya. 

Sampai dirinya dibebaskan, Utati tidak merasa sepenuhnya terbebas dari kungkungan kekuasaan pemerintahan Soeharto. Utati juga dipersulit ketika mau berpergian, gerak-geriknya diawasi, ada kewajiban lapor diri jika hendak pergi ke luar kota. 

Pada masa pemerintahan Soeharto juga diberlakukan 'bersih lingkungan' dengan membatasi aktivitas setiap anak-anak dan cucu para tahanan politik. Ia menceritakan bagaimana para korban tahanan politik di masa Orde Baru ini juga menjadi korban sosial di mana anak-anak dari para penyintas tidak berani mengakui orang tuanya. Anak-anak dan cucu dari para korban khawatir nasib serupa menimpa mereka.

Baca juga: Daftar 40 Tokoh Diusulkan Dapat Gelar Pahlawan Nasional: Ada Gus Dur, Soeharto, Marsinah

Selain itu, ketakutan mengakui orang tuanya yang penyintas karena dilatarbelakangi adanya larangan bekerja sebagai profesi tertentu seperti guru atau pegawai negeri sipil (PNS)."Kenapa takut? Ya karena nanti ditandai tidak bersih lingkungan, tidak boleh kerja di sini, tidak boleh kerja di situ. Yang jadi guru, jadi dalang, jadi pegawai negeri itu kan semuanya nggak boleh," jelasnya.

Setelah bebas, Utati dan teman - teman seperjuangannya juga masih hidup dalam ketakutan.Mereka baru berani keluar dan saling bertemu setelah peristiwa reformasi 1998 dan lengsernya Soeharto dari kursi kepala negara. 

Meski sekarang 60 tahun telah berlalu, Utati masih merasa hak asasinya belum diberikan. Rasa khawatir yang sama masih menetap di pikirannya.  

"Apa-apa masih khawatir, apalagi anak-anak yang punya anak ini korbannya banyak tadi, korban sosial itu banyak dari keluarga kami," ujarnya.

Atas dasar pengalaman kelam ini, Utati menyatakan Soeharto tidak pantas diangkat menjadi pahlawan nasional. Sedikit berkelakar, Utati menilai Soeharto lebih pantas jika diangkat sebagai pahlawan bagi keluarga dan kelompoknya.

"Mungkin kalau mau diangkat ya, ini maaf guyon saja, mungkin pahlawan untuk keluarganya sendiri atau pengikut-pengikutnya. Tapi kalau kami, kami tetap menolak," pungkas dia.

Diketahui, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyerahkan berkas 40 nama usulan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional ke Menteri Kebudayaan (Menbud) sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon.

Beberapa nama yang tercantum dalam berkas tersebut, adalah Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), serta tokoh buruh Marsinah. Gus Ipul mengatakan, usulan nama-nama ini telah dibahas selama beberapa tahun terakhir ini. 

"Ada beberapa nama yang memang kita bahas dan kita putuskan pada tahun ini. Di antaranya Presiden Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid dan juga ada Marsinah serta ada beberapa tokoh-tokoh yang lain," kata Gus Ipul.

Gus Ipul menjelaskan, tahap pengusulan nama-nama ini berawal dari masyarakat serta Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD). 

Kemudian nama ini diajukan dan ditandatangani oleh bupati atau wali kota setempat. Selanjutnya, dokumen ditandatangani gubernur, lalu diteruskan ke Kemensos.

Baca juga: Yasonna Minta Usulan Soeharto Jadi Pahlawan Nasional Dikaji: Kontroversinya Sangat Tinggi

"Kami melakukan pengkajian yang dikaji oleh tim (TP2GP). Hasilnya, hari ini saya teruskan kepada Pak Fadli Zon selaku Ketua Dewan Gelar. Ya tentu ini nanti selanjutnya akan dibahas sepenuhnya dan kita tunggu hasilnya secara bersama-sama," jelas Gus Ipul.

Beberapa nama lain yang juga diusulkan, adalah Syaikhona Muhammad Kholil, KH Bisri Syamsuri, KH Muhammad Yusuf Hasyim. Lalu Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf dan Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin.

Penyerahan berkas ini merupakan tindak lanjut dari rapat-rapat yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) atas usulan gelar pahlawan nasional dari berbagai provinsi. 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved