Gelar Pahlawan Nasional
Istana Respons Polemik Gelar Pahlawan Untuk Soeharto: Mari Lihat Jasa Para Pendahulu
Mensesneg Prasetyo Hadi menanggapi polemik rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Mereka di antaranya Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, eks Ketua Komnas HAM dan Jaksa Agung periode 1999-2001 Marzuki Darusman, Sejarawan Asvi Warman, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, penyintas tragedi 1965 Utati, Romo Franz Magnis Suseno, dan Anggota Dewan Pengurus Amnesty Internasional Indonesia Firda Amalia.
"Kami rakyat Indonesia dari berbagai elemen dan latar belakang di Indonesia maupun di luar Indonesia, dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab, menyatakan penolakan kami terhadap rencana penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada mendiang Presiden Soeharto," kata Usman membacakan surat yang dibuat koalisi masyarakat sipil ini.
Ada empat poin alasan penolakan yang dicantumkan dalam surat tersebut.
Pertama, terjadi pelanggaran berat HAM yang masih belum terselesaikan.
Usman menuturkan di masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto diwarnai sejumlah peristiwa kelam yang menimbulkan luka mendalam. Mulai dari peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, pelanggaran HAM di Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Kedua, terjadi Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) yang sistematis.
Praktik KKN merajalela dan menjadi budaya selama 32 tahun masa pemerintahan Soeharto.
Kekayaan negara dikontrol segelintir orang dekat Soeharto (oligarki), monopoli bisnis keluarga di berbagai sektor dengan perlindungan dari negara.
Berbagai yayasan yang dikelola keluarga Cendana juga menjadi alat untuk mengumpulkan dana 'sumbangan' paksa dari pengusaha dan pegawai negeri.
TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, khususnya Pasal 4 menyebut nama Soeharto sebagai pihak yang menjadi sasaran pemberantasan KKN.
"Pasal ini tidak dapat dianggap selesai hanya karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata Usman.
Ketiga, pemberangusan demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Rezim Soeharto dinilai menciptakan sistem politik yang otoriter dengan mengerdilkan dan memaksakan fusi partai politik menjadi hanya tiga partai, membatasi kebebasan pers dan kebebasan dunia akademik.
Soeharto juga dinilai melepas tanggung jawab atas rusaknya sistem dan pranata sosial politik.
Keempat, stabilitas ekonomi di masa pemerintahan Soeharto hanya muka depan belaka.
Sebab terjadi kesenjangan sosial-ekonomi yang lebar di tengah masyarakat.
"Pembangunan terpusat di Jawa dan mengabaikan daerah lain. Program Transmigrasi menimbulkan konflik horizontal dengan penduduk setempat. Krisis Moneter 1998 menjadi bukti kerapuhan fondasi ekonomi yang dibangun di atas praktik KKN," ujarnya.
.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.