Selasa, 11 November 2025

Gelar Pahlawan Nasional

Bapak-Anak Kompak: Jokowi dan Gibran Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Sama-sama Ungkit Jasa

Untuk nama Soeharto, polemik dan pro-kontra melingkupi usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya. Jokowi dan Gibran kompak dukung.

Tribun Solo/Ahmad Syarifudin
POLEMIK GELAR PAHLAWAN - Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) saat ditemui di kediamannya di Sumber, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Di antara pusaran pro-kontra, Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka kompak dalam menyatakan dukungan agar Mantan Presiden RI Soeharto diberi gelar pahlawan nasional. 
Ringkasan Berita:
  • Wacana pemberian gelar untuk Mantan Presiden RI Soeharto kembali mengemuka jelang Hari Pahlawan yang jatuh pada Senin, 10 November 2025 besok.
  • Pro-kontra telah melingkupi usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sejak pertama kali diajukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 2010 lalu.
  • Dari sederet persetujuan dan pertentangan, rupanya Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka kompak mendukung agar Soeharto mendapat gelar tersebut.

TRIBUNNEWS.COM - Kekompakan ditunjukkan bapak-anak, Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka dalam menyatakan dukungan agar Mantan Presiden RI Soeharto diberi gelar pahlawan nasional.

Wacana pemberian gelar untuk Soeharto kembali mengemuka jelang Hari Pahlawan yang kembali jatuh pada Senin, 10 November 2025 besok.

Adapun pemberian gelar Pahlawan Nasional merupakan bentuk penghormatan tertinggi negara kepada warga yang berjasa besar bagi bangsa dan negara.

Setiap tahun menjelang Hari Pahlawan, pemerintah melalui Presiden menganugerahkan gelar ini kepada tokoh-tokoh yang dinilai memenuhi kriteria tertentu.

Gelar Pahlawan Nasional resmi diberikan melalui Keputusan Presiden dan biasanya diumumkan menjelang peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November.

Akan tetapi, untuk nama Soeharto, polemik dan pro-kontra melingkupi usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepadanya sejak pertama kali diajukan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 2010 lalu.

Proses pengusulan selalu menuai pro-kontra dari sejumlah pihak.

Di satu sisi, Soeharto dianggap berjasa dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan (seperti Serangan Umum 1 Maret 1949 serta swasembada pangan).

Akan tetapi, di sisi lain ada catatan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, korupsi, dan otoritarianisme selama Orde Baru yang dipimpinnya.

Pada 2025 ini, nama Soeharto diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan nasional bersama 39 nama tokoh lainnya, termasuk Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah.

Dari sederet persetujuan dan pertentangan, rupanya Jokowi dan Gibran kompak memberikan dukungan agar mantan mertua Presiden RI Prabowo Subianto sekaligus ayah Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto (Siti Hediati Hariyadi) itu dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Baca juga: Soal Usulan Soeharto jadi Pahlawan Nasional, Mensos: Kita Tunggu Besok Pengumumannya di Istana

Gibran Singgung Jasa Soeharto dalam Pengentasan Kemiskinan

Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka menanggapi soal pemberian gelar pahlawan nasional kepada Mantan Presiden RI Soeharto.

Menurut Gibran, pemberian gelar tersebut sudah melalui tahapan yang panjang.

Anak sulung Jokowi yang lahir di Surakarta, 1 Oktober 1987 itu, pun menyinggung Soeharto yang menurutnya sudah memberikan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia.

“Saya kira gelar untuk pahlawan ini sudah melalui proses dan tahapan yang panjang ya," kata Gibran, Jumat (7/11/2025), sebagaimana dikutip dari tayangan video di kanal YouTube Wakil Presiden RI via KompasTV.

"Apalagi beliau-beliau ini memberikan sumbangsih dan kontribusi besar untuk negara,” ujarnya.

"Pak Harto, beliau berkontribusi dan berjasa besar untuk pembangunan, swasembada pangan, dan juga pengentasan kemiskinan," imbuhnya.

Jokowi Bilang Jasa Soeharto untuk Negara Harus Dihargai

Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) mendukung pemberian gelar jasa untuk Presiden RI ke-2 Soeharto sebagai pahlawan nasional.

Menurut Jokowi, Soeharto dan Gus Dur sama-sama memiliki jasa besar untuk negara.

“Setiap pemimpin baik itu Presiden Soeharto maupun Presiden Gus Dur pasti memiliki peran dan jasa terhadap negara,” kata Jokowi, saat ditemui wartawan di kediamannya Sumber, Solo, Jawa Tengah, Kamis (6/11/2025), dilansir TribunSolo.com.

Jokowi menyebut, setiap pemimpin pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, menurutnya, jasa setiap pemimpin kepada negara harus tetap dihargai. 

“Kita semua harus menghargai itu dan kita sadar setiap pemimpin pasti ada kelebihan pasti ada kekurangan,” jelasnya.

Ia menilai, pemberian gelar pahlawan nasional telah melalui berbagai pertimbangan dari pakar yang ahli di bidangnya.

“Pemberian gelar jasa terhadap para pemimpin melalui proses-proses, melalui pertimbangan-pertimbangan yang ada dari tim pemberian gelar dan jasa,” tuturnya.

Menurut Jokowi, masyarakat Indonesia bisa menghormati peran dan jasa atas apa yang dilakukan selama Presiden Soeharto memimpin.

“Saya kira kita semua sangat menghormati peran dan jasa yang telah diberikan baik oleh Presiden Soeharto bagi bangsa dan negara,” jelasnya.

Kemudian, Jokowi menilai, adanya pro-kontra mengenai pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto adalah hal yang biasa dalam demokrasi.

“Ya biasa dalam negara demokrasi ada yang setuju ada yang tidak setuju," jelas Jokowi.

"Tapi yang jelas, ada timnya, para pakar, yang juga memiliki pertimbangan yang kita semua harus menghargai. Sangat baik (mikul dhuwur mendhem jero atau menjunjung tinggi kehormatan, serta menutup rapat-rapat segala aib dan kesalahan),” tandasnya.

Baca juga: Gus Dur Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Cak Imin: Bersyukur dan Terima Kasih

Penolakan Wacana Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

MENOLAK LUPA; sejumlah organisasi masyarakat sipil telah terang-terangan menolak pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto.

Mereka menilai, Soeharto tidak layak menerima gelar tersebut karena rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia (HAM), praktik korupsi, dan pembungkaman kebebasan sipil selama rezim Orde Baru.

Penolakan ini disampaikan dalam jumpa pers yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), LBH Pers, dan SAFEnet, sebagai bagian dari Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (Gemas), di Jakarta Pusat, Jumat (7/11/2025).

Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana, menyebut dukungan DPR dan Menteri Kabinet terhadap gelar tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap akal sehat dan fakta sejarah.

“DPR buta dan tuli karena sama seperti menteri. Bukti-buktinya banyak. Ini mempermalukan dirinya sendiri,” kata Bayu.

Ia menegaskan bahwa secara moral dan historis, Soeharto tidak pantas dijadikan pahlawan nasional.

“Faktanya dia banyak kejahatannya. Kalau sebuah masa gelap tidak pernah diakui, maka akan terulang lagi,” ujarnya.

Bayu juga mengingatkan bahwa Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sendiri telah mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat, termasuk tragedi 1965.

“Jokowi kan sudah mengakui ada 12 pelanggaran HAM dan itu termasuk 1965. Mau bukti apa lagi?” tukasnya.

Peneliti ELSAM, Octania Wynn, menyebut empat alasan utama mengapa Soeharto tidak layak diberi gelar pahlawan nasional.

  1. Jejak pelanggaran HAM berat.
  2. Pelanggaran prinsip demokrasi dan kebebasan sipil.
  3. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
  4. Tidak memenuhi syarat nilai kemanusiaan dan keteladanan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Octania juga menyoroti pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada bukti pelanggaran HAM oleh Soeharto.

“Kami menilai itu bentuk tutup mata. Korban-korban HAM berat masa lalu masih bisa ditemui, misalnya di Aksi Kamisan,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong, mendesak pemerintah untuk membuka proses peradilan HAM terhadap Soeharto.

“Bagaimana bisa terbukti kalau proses peradilannya enggak pernah dilakukan?” tegasnya.

Mustafa juga mengingatkan, TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 dan TAP MPR Nomor 4 Tahun 1999 secara eksplisit menyebut Soeharto sebagai subjek yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

“TAP ini masih berlaku sampai sekarang. Jadi tidak bisa serta-merta Fadli Zon atau negara menganggap bahwa ini tidak ada bukti,” pungkasnya.

(Tribunnews.com/Rizki A./Mario Christian S.) (TribunSolo.com/Ahmad Syarifudin)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved