Jumat, 14 November 2025

MK Tolak Permohonan agar Jabatan Kapolri Dijadikan Setingkat Menteri, Ini Alasannya

MK menolak Kapolri dijadikan setingkat menteri. Permintaan ini diajukan oleh tiga mahasiswa melalui perkara nomor 19/PUU-XXIII/2025.

|
IST
JABATAN KAPOLRI - MK menolak Kapolri dijadikan setingkat menteri. Permintaan ini diajukan oleh tiga mahasiswa melalui perkara nomor 19/PUU-XXIII/2025. 

Ringkasan Berita:
  • MK menolak permohonan agar jabatan Kapolri dijadikan setingkat menteri karena bertentangan dengan peran Polri sebagai alat negara.
  • MK menilai Kapolri harus bebas dari pengaruh politik agar bisa menjaga keamanan dan hukum secara adil.
  • Permohonan mahasiswa dianggap tidak beralasan secara hukum, dan aturan yang ada dalam UU Polri tetap dinyatakan sah dan berlaku.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permintaan agar jabatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dijadikan setingkat menteri. Permintaan ini diajukan oleh tiga mahasiswa melalui perkara nomor 19/PUU-XXIII/2025.

Mereka ingin agar pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan dengan alasan yang jelas dan sah, seperti masa jabatan presiden berakhir atau Kapolri memasuki masa pensiun.

Mereka juga ingin agar Kapolri diangkat kembali oleh presiden baru setelah pergantian pemerintahan.

Namun MK menilai, menjadikan Kapolri setingkat menteri tidak sesuai dengan peran Polri sebagai alat negara.

Jika Kapolri menjadi bagian dari kabinet, maka ia bisa terlalu dipengaruhi oleh kepentingan politik presiden.

MK menegaskan bahwa Polri harus tetap berdiri di atas semua kepentingan, termasuk kepentingan politik, demi menjaga keamanan dan penegakan hukum.

Oleh kaarena itu, MK menyatakan bahwa aturan yang ada saat ini masih relevan dan tidak perlu diubah.

Penjelasan Hakim MK

Hakim konstitusi Arsul Sani mengatakan, langkah atau upaya menggeser posisi jabatan Kapolri tersebut adalah tidak sejalan dengan keberadaan Polri sebagai alat negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.

Arsul menjelaskan, tidak dicantumkannya frasa “setingkat menteri” dalam UU 2/2002, menurut Mahkamah, karena pembentuk undang-undang telah memaknai penempatan posisi Polri dalam sistem ketatanegaraan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. 

Sehingga, menurut Mahkamah, dengan memberi label “setingkat menteri”, kepentingan politik presiden akan dominan menentukan seorang Kapolri.

Sementara, secara konstitusional, Pasal 30 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 secara expressis verbis menyatakan Polri sebagai alat negara. 

Dengan demikian, Mahkamah berpendapat, sebagai alat negara, Polri harus mampu menempatkan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum di atas kepentingan semua golongan termasuk di atas kepentingan presiden.

“Artinya, dengan memosisikan jabatan Kapolri menjadi setingkat menteri, Kapolri secara otomatis menjadi anggota kabinet, jelas berpotensi mereduksi posisi Polri sebagai alat negara,” kata Arsul, dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK RI, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

Arsul menilai, untuk menghindari kekosongan hukum, maka Penjelasan Pasal 11 ayat (2) UU 2/2002 masih relevan untuk dipertahankan. 

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved