Senin, 17 November 2025

Boni Hargens: MK Benar, Polri Adalah Alat Negara

Hargens menekankan bahwa Polri bukan sekadar alat kelengkapan negara, tetapi merupakan bagian fundamental dari struktur negara itu sendiri.

Penulis: Hasanudin Aco
Istimewa
PUTUSAN MK - Boni Hargens, Analis Politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), memberikan dukungan penuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam pandangannya,  keputusan MK telah tepat dalam membedakan antara Polri sebagai bagian integral dari negara dengan jabatan-jabatan politik yang bersifat temporer dan terikat pada siklus pemilihan umum. 
Ringkasan Berita:
  • MK membacakan dua putusan sekaligus hari ini
  • Gugatan terkait UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri
  • Salah satu gugatan yang dipenuhi MK soal masa jabatan Kapolri

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gugatan diajukan terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pemohon mempersoalkan ketiadaan pembatasan masa jabatan Kapolri yang definitif dalam undang-undang tersebut.

Baca juga: Anggota DPR: Polri Sebagai Alat Negara Harus Tetap Langsung di Bawah Presiden, Bukan Kementerian

Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan dua putusan secara bersamaan pada Kamis 13 November 2025 di gedung MK Jakarta yaitu perkara nomor 19/PUU-XXIII/2025 dan 147/PUU-XXIII/2025.

Gugatan ini menjadi perhatian publik karena menyangkut isu fundamental tentang independensi kepolisian dan batasan kewenangan eksekutif dalam menentukan pimpinan lembaga penegak hukum. 

Para pemohon berargumen bahwa pembatasan masa jabatan Kapolri diperlukan untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan dan memastikan rotasi kepemimpinan yang sehat dalam institusi kepolisian.

Dalam konteks reformasi sektor keamanan di Indonesia, pertanyaan mengenai masa jabatan pejabat tinggi negara selalu menjadi topik yang sensitif dan strategis.

Gugatan ini mencerminkan kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap potensi politisasi institusi kepolisian jika masa jabatan Kapolri tidak dibatasi secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.

Baca juga: Polri Hormati Putusan MK Larang Anggota Aktif Duduki Jabatan Sipil, Tunggu Salinan Resmi

Inti Permasalahan Konstitusional

Pertama, tidak adanya frasa "setingkat menteri" dalam UU Polri menjadi perdebatan utama mengenai posisi konstitusional Kapolri dalam struktur pemerintahan.

Kedua, Polri adalah alat negara yang independent dari kepentingan politik praktis. 

Sudah benar apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi

Kita ketahui, MK  dalam pertimbangannya menekankan bahwa tidak adanya frasa "setingkat menteri" dalam mendefinisikan posisi Kapolri bukanlah sebuah kekosongan hukum, melainkan pilihan legislatif yang disengaja untuk menjaga karakter khusus jabatan tersebut. 

MK menilai bahwa pelabelan "setingkat menteri" justru akan membawa implikasi politis yang dapat mengaburkan fungsi utama Polri sebagai alat negara.

Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum. 

Kedudukan ini berbeda secara fundamental dengan jabatan menteri yang merupakan pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan dan memiliki agenda politik tertentu sesuai dengan visi presiden yang sedang berkuasa.

Boni Hargens, Analis Politik sekaligus Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI), memberikan dukungan penuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini. 

Dalam pandangannya,  keputusan MK telah tepat dalam membedakan antara Polri sebagai bagian integral dari negara dengan jabatan-jabatan politik yang bersifat temporer dan terikat pada siklus pemilihan umum.

 “Saya sepakat dengan MK bahwa Polri itu bagian dari negara, bukan sekadar alat kelengkapan negara sehingga jabatan Kapolri tidak bisa dibatasi seperti jabatan politik. Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka biarkan itu menjadi hak prerogatif presiden sebagai kepala negara," ujar Hargens, Kamis (13/11/2025).

Polri sebagai Bagian Negara

Hargens menekankan bahwa Polri bukan sekadar alat kelengkapan negara, tetapi merupakan bagian fundamental dari struktur negara itu sendiri. 

Oleh karena itu, kepemimpinannya tidak dapat diperlakukan sama dengan jabatan politik yang bersifat sementara. Lebih lanjut Hargens berbicara soal fleksibilitas hak prerogative. 

“Masa jabatan Kapolri tidak perlu diatur secara periodik seperti maksimal 5 tahun. Sebaliknya, durasi jabatan harus ditentukan oleh kebutuhan negara melalui kewenangan prerogatif Presiden sebagai kepala negara”, ujarnya dalam keterangan pers tertulis di Jakarta, Kamis (13/11/2025.)

Baca juga: Anggota DPR: Polri Sebagai Alat Negara Harus Tetap Langsung di Bawah Presiden, Bukan Kementerian

Kebutuhan Adaptif

Pendekatan yang fleksibel memungkinkan negara untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi dan tantangan keamanan yang dinamis, tanpa terkungkung oleh batasan waktu yang artificial. 

Menurut Hargens, pembatasan masa jabatan Kapolri secara kaku justru dapat kontraproduktif. 

Dalam konteks penegakan hukum dan pemeliharaan keamanan nasional, kontinuitas kepemimpinan yang efektif seringkali lebih penting daripada rotasi yang dipaksakan oleh kalender. 

"Seorang Kapolri yang telah membangun sistem, memahami kompleksitas tantangan keamanan, dan memiliki hubungan kerja yang baik dengan berbagai stakeholder, dapat memberikan kontribusi lebih besar jika diberikan waktu yang cukup untuk menyelesaikan program-programnya," ujarnya.

Implikasi Putusan terhadap Sistem Ketatanegaraan

Boni Hargens mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi ini membawa implikasi yang luas dan mendalam terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam hal pemahaman tentang kedudukan lembaga-lembaga negara dan hubungannya dengan kekuasaan eksekutif. 

"Keputusan ini memperjelas batasan antara institusi negara yang bersifat permanen dengan jabatan-jabatan politik yang bersifat temporer," katanya.

Penguatan Independensi Institusional

Saya menilai putusan MK ini memperkuat independensi Polri sebagai institusi penegak hukum yang tidak terikat pada kepentingan politik jangka pendek pemerintahan tertentu. 

Selain itu, kata dia, MK telah Memberikan kejelasan mengenai hubungan antara Presiden dan Kapolri myang bersifat konstitusional, bukan hubungan atasan-bawahan dalam struktur kabinet. 

Di dalamnya tetap ada penegasan prinsip checks and balances, bahwa meskipun Presiden memiliki prerogatif, pengangkatan Kapolri tetap memerlukan persetujuan DPR, menjaga keseimbangan kekuasaan.

Fleksibilitas Kepemimpinan Strategis

Memungkinkan negara untuk mempertahankan kepemimpinan efektif dalam institusi strategis berdasarkan kebutuhan objektif, bukan kalender politik.

Dari perspektif hukum tata negara, kata Hargens yang saat ini sedang menyelesaikan studi ilmu hukum, putusan ini juga memberikan preseden penting dalam memahami karakteristik berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan Indonesia.

Tidak semua jabatan yang diangkat oleh Presiden otomatis menjadi bagian dari kabinet atau tunduk pada logika politik elektoral. 

Ada kategori jabatan-jabatan strategis yang meskipun pengangkatannya merupakan prerogatif Presiden, namun secara fungsional harus menjaga jarak dari dinamika politik untuk memastikan objektivitas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas konstitusionalnya.

Putusan ini juga merefleksikan kematangan demokrasi Indonesia yang mampu membedakan antara kontrol demokratis dengan politisasi institusi negara. 

Kontrol demokratis diperlukan dan dijalankan melalui mekanisme persetujuan DPR, namun hal tersebut tidak berarti institusi seperti Polri harus tunduk pada siklus politik atau menjadi instrumen politik pemerintah yang sedang berkuasa.

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved