ICCT Luncurkan Peta Jalan Nol Emisi: Menuju Indonesia Bebas Impor Bahan Bakar Fosil
Transisi ke kendaraan nol emisi dapat membantu Indonesia bebas impor bahan bakar fosil paling cepat tahun 2048.
Editor:
Dodi Esvandi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Transisi ke kendaraan nol emisi yang saat ini dapat dipenuhi oleh Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), dapat membantu Indonesia bebas impor bahan bakar fosil paling cepat tahun 2048.
Terlebih lagi, langkah ini dapat memangkas hingga 90 persen subsidi dan kompensasi energi untuk sektor transportasi darat, jika dibandingkan anggaran tahun 2023.
Dalam peluncuran laporan studi berjudul “Roadmap to Zero: The Pace of Indonesia’s Electric Vehicle Transition” Ray Minjares, Managing Director International Council for Clean Transportation (ICCT), menampilkan beberapa skenario untuk Indonesia menuju nol emisi.
Studi ini merupakan hasil kolaborasi ICCT dengan Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (sekarang beralih ke Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintahan, badan usaha, asosiasi dan lembaga think tanks.
Berbagai pihak tersebut turut berpartisipasi dalam rangkaian Focus Group Discussion yang dilaksanakan selama Agustus–Oktober 2024.
“Dengan menargetkan 100 persen penjualan kendaraan nol emisi pada 2037 (untuk kendaraan roda dua dan tiga) dan 2040 (untuk mobil penumpang, bus, truk ringan, truk sedang dan truk berat), Indonesia dapat terlepas dari beban fiskal yang saat ini setara dengan 10 persen pendapatan domestik bruto, pada tahun 2060,” ujar Ray dalam forum strategis bertajuk “Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik” kolaborasi ICCT dan Katadata Green yang diadakan di Aryanusa Ballroom, Jakarta, Rabu (12/2/2025).
Baca juga: Donald Trump Hentikan Pendanaan Infrastruktur Isi Daya Kendaraan Listrik
Ray memaparkan empat rekomendasi dari laporan studi tersebut.
Pertama, pemerintah perlu menetapkan target pangsa pasar untuk kendaraan nol emisi.
Kedua, dukungan fiskal dapat mempercepat transisi seluruh jenis kendaraan untuk mencapai nol emisi.
Ketiga, membuat standar suplai kendaraan nol emisi untuk mendorong produksi dan adopsi.
Keempat, mengembangkan infrastruktur pengisian daya yang menyesuaikan karakteristik dan
kebutuhan pengguna yang bervariasi.
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Rachmat Kaimuddin menyampaikan, Indonesia perlu mempercepat pembangunan ekosistem kendaraan nol emisi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mencapai swasembada energi.
Dalam pidato pembukaan acara, Rachmat menyampaikan pemerintah mengimpor 60 persen bahan bakar fosil, serta menganggarkan subsidi dengan nilai rata-rata Rp250 triliun per tahun dalam lima tahun terakhir.
Selain menjadi beban fiskal, ketergantungan kendaraan terhadap bahan bakar fosil menyumbang 40-60 persen dari polusi udara di perkotaan.
Baca juga: Donald Trump Cabut Mandat Kendaraan Listrik Era Joe Biden
“Kalau ekosistem sudah terbangun, ketergantungan kita pada impor bahan bakar fosil akan berkurang. Kenapa? Karena listrik feedstock-nya domestik, baik energi fosil maupun energi terbarukan,” ujarnya dalam pembukaan acara.
Pada forum yang sama juga diadakan diskusi panel yang dihadiri Kepala Balai Besar Survei dan Pengujian KEBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Harris, Direktur Operasional Transjakarta Daud Joseph, dan Peneliti ICCT Tenny Kristiana.
Dalam diskusi tersebut Daud Joseph menyebutkan, ongkos operasional bus listrik pada saat ini 20 persen lebih murah dibandingkan bus konvensional.
Oleh karena itu, operasi bus listrik juga menghemat kebutuhan subsidi angkutan umum yang awalnya sekitar Rp4,3 triliun menjadi Rp4,1 triliun dalam setahun.
“Dengan mengoperasikan bus listrik, tiap bulan Transjakarta mampu menghemat Rp8 miliar. Dengan uang ini, artinya Transjakarta dapat mengoperasikan 60 bus tambahan,” kata Daud.
Adapun saat ini, Transjakarta telah mengoperasikan 300 unit bus listrik, termasuk 200 bus yang dipesan pada akhir 2024.
Dengan meningkatnya permintaan kendaraan listrik berbasis baterai sebagai kendaraan nol emisi, kebutuhan mineral kritis seperti nikel dan kobalt akan naik.
“Salah satu solusi untuk mengurangi kebutuhan mineral dari penambangan adalah dengan mengembangkan teknologi daur ulang baterai,” ujar Tenny Kristiana.
Menurutnya, praktik di Eropa dan Tiongkok yang mempublikasikan komposisi bahan baterai, akan mempermudah daur ulang di akhir siklus hidup.
“Jadi ketika nanti baterai butuh didaur ulang, kita bisa tahu berapa jumlah nikel, kobalt yang bisa diolah kembali,” kata Tenny.
Harris menambahkan, sebelum didaur ulang, baterai dapat dimanfaatkan sebagai battery storage untuk mendukung peningkatan adopsi energi terbarukan terutama di luar Jawa.
“Listrik dari energi terbarukan (dalam hal ini panel surya) juga sudah mulai diintegrasikan dalam stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU),” tambah Harris.
Generasi Muda Punya Peran Penting Dorong Penggunaan Kendaraan Listrik, Ini Alasannya |
![]() |
---|
Sensasi Naik Bus Listrik AKAP PO Sumber Alam-Kalista Rute Bekasi-Yogyakarta |
![]() |
---|
Kemenperin Pacu Produksi IMIP untuk Penuhi Permintaan Global dan Perkuat Ekosistem Kendaraan Listrik |
![]() |
---|
Pertumbuhan Kendaraan Listrik Perlu Diimbangi Pemerataan SPKLU |
![]() |
---|
Inovasi Teknologi Baterai EV Dorong Berkembangnya Ekosistem Kendaraan Listrik |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.