Dewan Adat Dayak Kotim Tolak Transmigrasi, Begini Tanggapan Gubernur Kalteng
Program transmigrasi menjadi sorotan setelah Kementerian Transmigrasi (Kementrans) menetapkan sejumlah wilayah prioritas di Kalimantan Tengah.
Editor:
Erik S
TRIBUNNEWS.COM, PALANGKA RAYA – Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Provinsi Kalimantan Tengah, Gahara menolak daerahnya sebagai tujuan program transmigrasi.
Menurutnya, program transmigrasi berisiko memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat lokal yang saat ini masih berkutat dengan kemiskinan dan keterbatasan akses terhadap lahan dan pelayanan dasar.
Program transmigrasi menjadi sorotan setelah Kementerian Transmigrasi (Kementrans) menetapkan sejumlah wilayah prioritas di Kalimantan, termasuk di Kalimantan Tengah.
Baca juga: Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi Bakal Dibangun di 154 Kawasan Transmigrasi
Menanggapi hal itu, Gubernur Kalteng Agustiar Sabran menegaskan, program transmigrasi bukanlah hal baru.
"Kita ini bagian dari NKRI. Program tersebut sudah biasa, terlebih sebelumnya juga telah berjalan. Ini dinamika yang wajar," ujarnya saat diwawancarai awak media, Rabu (23/7/2025).
Agustiar juga mengungkapkan, hingga saat ini belum ada pembahasan detail di tingkat pusat terkait program tersebut.
"Waktu itu saya dapat informasi dari Komisi V DPR RI, dan saat Pak Dirjen hadir pun masih belum ada pembahasan khusus soal itu," jelasnya.
Meski demikian, ia menegaskan visi dan misinya jelas, yakni mengutamakan kepentingan masyarakat lokal.
"Kan sudah saya katakan, visi dan misi kami adalah menjadikan orang lokal itu tuan di rumahnya sendiri," tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kalteng, Farid Wajdi menyebut, ada lima kawasan transmigrasi yang disiapkan di Kalteng.
Wilayah tersebut meliputi:
1. Kuala Jelai di Kabupaten Sukamara
2. Belantikan Raya di Kabupaten Lamandau
3. Kotawaringin Lama dan Arut Selatan di Kabupaten Kotawaringin Barat
4. Tumbang Jutuh di Kabupaten Gunung Mas
5. Lamunti Dadahup di Kabupaten Kapuas
Menurut Farid, tahap awal yang menjadi prioritas ialah memastikan status lahan dalam kondisi clear and clean sebelum penempatan transmigran.
"Kami pastikan lahan harus clear and clean dulu sebelum ada penempatan. Ini penting agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari," kata Farid, kepada TribunKalteng.com, Selasa (8/7/2025).
Farid menjelaskan, Pemprov Kalteng bersama pemerintah kabupaten terkait telah menandatangani MoU dengan daerah-daerah pengirim transmigran, seperti Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Baca juga: Selesaikan Konflik Sosial, Kawasan Transmigrasi Lokal Barelang Dibangun
Selanjutnya, akan dilakukan koordinasi intensif antara pemerintah kabupaten dan kementerian terkait daftar nama calon transmigran, baik dari daerah asal maupun masyarakat lokal yang akan diseleksi.
"Kami tidak hanya menerima dari daerah asal, tetapi juga membuka kesempatan bagi masyarakat lokal untuk ikut dalam program ini. Semua akan diseleksi sesuai ketentuan," ujarnya.
Lebih lanjut, ia memastikan seluruh kebutuhan dasar transmigran akan ditanggung pemerintah pusat, mulai dari tempat tinggal, prasarana lingkungan, hingga jaminan hidup (jadup).
"Pemerintah pusat sudah menyiapkan semua kebutuhan dasar, sedangkan kami di provinsi berperan dalam pembinaan dan pelatihan keterampilan sesuai potensi lokal," tutupnya.
Alasan Transmigrasi ditolak
Gahara mengatakan program transmigrasi berisiko memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat lokal yang saat ini masih berkutat dengan kemiskinan dan keterbatasan akses terhadap lahan dan pelayanan dasar.
“Kami menolak jika Kotim ini dijadikan daerah transmigrasi. Masih banyak masalah sosial di sini. Masyarakat lokal masih hidup jauh di bawah garis kemiskinan,” ujar Gahara saat dikonfirmasi, Senin (21/7/2025).
Ia menilai, kehadiran transmigran dari luar daerah, terutama dari luar Kalimantan, hanya akan menambah beban baru.
Ketimpangan penguasaan sumber daya dikhawatirkan akan semakin tajam dan memicu konflik horizontal.
“Kalau program ini dipaksakan, masyarakat adat dan petani lokal hanya akan jadi penonton di tanah sendiri,” kata Gahara.
Baca juga: Mentrans Sampaikan Paradigma Baru Transmigrasi saat Meninjau PSN Rempang
Lebih jauh, Gahara menyebut pelaksanaan transmigrasi di masa lalu telah meninggalkan jejak permasalahan panjang, mulai dari penguasaan lahan yang tidak merata hingga kerusakan lingkungan.
Ia menyayangkan tidak adanya evaluasi mendalam sebelum program baru ini dirancang ulang.
“Sejak era 1970-an, program transmigrasi nasional sudah banyak menimbulkan persoalan. Tanah-tanah adat hilang, hutan rusak, masyarakat lokal kehilangan ruang hidupnya,” tegasnya.
Tak hanya persoalan ekonomi, ia juga menyoroti dampak transmigrasi terhadap hak-hak politik dan budaya masyarakat Dayak.
Masuknya warga baru dari luar daerah dikhawatirkan akan mengubah komposisi sosial serta menggeser identitas lokal secara perlahan.
“Ini seperti kolonisasi modern. Jangan sampai atas nama pembangunan, hak-hak masyarakat adat dikorbankan. Kami menolak model pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat lokal,” ujarnya.
Gahara mengingatkan bahwa Kalimantan bukanlah tanah kosong.
Sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Dayak sudah tinggal dan hidup dari hasil hutan dan alam di wilayah tersebut.
Karena itu, ia menolak anggapan bahwa wilayah Kalimantan Tengah bisa dijadikan lokasi 'kosong' untuk menampung gelombang transmigran.
“Jangan anggap Kalimantan ini tidak berpenghuni. Kami sudah lama ada di sini, jauh sebelum republik ini berdiri,” ungkapnya.
Di sisi lain, ia menyesalkan masih minimnya perhatian negara terhadap kesejahteraan masyarakat adat.
Ia menyebut banyak hasil kekayaan alam seperti hasil hutan, perkebunan, dan tambang yang dikirim ke pusat, sementara masyarakat lokal tidak menikmati hasilnya.
Baca juga: Ketua Komisi IV DPRD Kalteng Soroti Program Transmigrasi, Usulkan 70 Persen Kuota untuk Warga Lokal
“Kami ini diakui secara hukum sebagai masyarakat adat, tapi faktanya hak kami tidak diurus. Lahan makin sempit, akses pendidikan dan kesehatan juga masih terbatas,” ujarnya.
Gahara berharap pemerintah lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal ketimbang membuka wilayah transmigrasi baru.
Menurutnya, jika pemerintah memang ingin melakukan transmigrasi, sebaiknya diprioritaskan untuk masyarakat lokal Kalimantan yang belum memiliki lahan atau pekerjaan tetap.
“Kami bukan anti pembangunan. Tapi tolong, berikan ruang untuk masyarakat lokal berkembang dulu. Jangan kami dikorbankan lagi,” tutupnya.
Penulis: Muhammad Iqbal Zulkarnain
Artikel ini telah tayang di Tribunkalteng.com dengan judul Soroti Program Transmigrasi, Gubernur Kalteng: Orang Lokal Harus Jadi Tuan di Rumah Sendiri
dan
Dewan Adat Dayak Kotim Tolak Transmigrasi Nasional di Kalteng, Khawatir Masyarakat Lokal Tersingkir
Sumber: Tribun Kalteng
Viral Remaja dari Kalteng Bernama 'C' Langgar Permendagri, Apakah Harus Ganti Nama? |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca Palangka Raya, Sabtu 12 Juli 2025: Cerah Berawan dari Pagi hingga Malam |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca Palangka Raya, Jumat 11 Juli 2025: Cerah Berawan Sepanjang Hari |
![]() |
---|
Kasus Penyegelan Pabrik di Kalteng, Polisi Tetapkan 3 Anggota Ormas GRIB Jaya Sebagai Tersangka |
![]() |
---|
Prakiraan Cuaca Palangkaraya, Minggu 6 Juli 2025: Hujan Ringan pada Malam Hari |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.