Minggu, 10 Agustus 2025

Sambut Keluhan Masyarakat Teluk Bayur, Advokat Rakyat Ajukan RDP ke Komisi III DPR

Bidang Hukum dan HAM DPP ARUN, Yudi Rijali Muslim menyampaikan ARUN DPD Kalbar telah menyerap aspirasi masyarakat Teluk Bayur.

Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Wahyu Aji
Istimewa
HAK LAHAN RAKYAT - Media briefing pengurus DPP ARUN di Kantor DPP ARUN Jakarta, Jumat (8/8/2025). DPP ARUN menyikapi persoalan hak lahan di Ketapang Kalimantan Barat.  

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP ARUN) menyatakan komitmennya untuk mengawal proses hukum, mendorong advokasi kebijakan serta membangun dan memperluas mobilisasi solidaritas rakyat untuk mengawal kasus-kasus yang  menyakiti hak rakyat.

Kali ini ARUN berfokus pada dugaan praktik perampasan tanah yang dialami oleh masyarakat Teluk Bayur, Ketapang, Kalimantan Barat

Rencananya keluhan masyarakat ini akan dibawa ke Komisi III DPR RI.

Bidang Hukum dan HAM DPP ARUN, Yudi Rijali Muslim menyampaikan ARUN DPD Kalbar telah menyerap aspirasi masyarakat Teluk Bayur.

"Keluh kesah masyarakat Teluk Bayur itu ditindaklanjuti oleh DPD Ketapang. Lalu diinnvestigasi dan hasilnya dimasukkan ke ARUN Pusat," kata Yudi saat media briefing di Kantor DPP ARUN Jakarta, Jumat (8/8/2025).

Ia memaparkan  dari semua investigasi yang dilakukan, ditemukan beberapa masalah yang membutuhkan keterlibatan dari pemerintah untuk menyelesaikannya.

"Yang pertama, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang cacat hukum. Dimana tidak adanya pelepasan dari masyarakat. Tidak ada proses pembebasan lahan, tanpa ada pembayaran ganti rugi," ujarnya. 

Masalah kedua adalah sebuah perusahaan di sana diduga melakukan penguasaan fisik lahan di luar HGU yang sah, sebesar kurang lebih 1.200 hektar. 

Dan di atas tanah itu pula, terdapat lebih dari 570 hektar tanpa adanya HGB perusahaan, juga telah membangun berbagai fasilitas seperti gudang pupuk dan perumahan karyawan, tanpa dasar hukum dan tanpa proses pembebasan lahan yang sah. 

"Ini adalah bentuk nyata perampasan tanah rakyat, sebuah pelanggaran hukum dan hak konstitusional warga negara," ujarnya lagi.

Masalah ketiga, negara dirugikan dengan penanaman sawit tanpa membayar pajak.

Dari hasil investigasi dengan tidak terpungutnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tidak  dibayarkannya Pajak Penghasilan (PPh Badan), tidak  disetorkannya iuran Dana BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), serta potensi kehilangan penerimaan dari bea  keluar jika hasil sawit diekspor,  totalnya adalah Rp19.544.880.000.

"Masalah keempat adalah eksploitasi sepihak oleh perusahaan telah menimbulkan potensi pendapatan dari hasil sawit, menurunnya nilai ekonomis tanah milik warga, rusaknya tatanan sosial kemasyarakatan, serta terjadinya degradasi lingkungan yang berdampak langsung pada keberlanjutan hidup masyarakat, yang jika ditotal  dari 2010 sampai 2025 mencapai sekitar Rp95,1 miliar," kata Yudi.

Di tengah kerugian masyarakat tersebut, Bidang Politik DPP ARUN Syakieb Faiz Ba'arrfan, menyatakan perusahaan terkait telah mendapatkan keuntungan yang nilainya triliunan rupiah.

"Keuntungan itu diperoleh  tanpa mekkanisme ganti rugi, tanpa izin legal yang lengkap, serta tanpa kontribusi fiskal yang semestinya kepada daerah," kata  Syakieb.

Halaman
12
Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan