Rabu, 24 September 2025

RUU KUHAP

 RDP dengan Komisi III DPR, Wamen HAM Sampaikan 10 Poin Masukan Terkait RKUHAP

Mugiyanto menilai Pasal 21 terlalu generik karena hanya menyebut adanya kekhawatiran melarikan diri.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews.com/Chaerul Umam
RAPAT RKUHAP - Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Mugiyanto, memaparkan sepuluh isu krusial terkait hak asasi manusia yang harus diperhatikan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Senin (22/9/2025). 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Mugiyanto, memaparkan sepuluh isu krusial terkait hak asasi manusia yang harus diperhatikan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).

Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI pada Senin (22/9/2025).

“Ada 10 isu yang kami identifikasi sebagai isu yang krusial terkait hak asasi manusia dalam RUU KUHAP,” ujar Mugiyanto di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Isu pertama, kata Mugiyanto, menyangkut ketentuan penangkapan. Menurutnya, Pasal 17 KUHAP hanya mensyaratkan adanya “cukup alasan” tanpa standar yang jelas sehingga terlalu umum.

“Rekomendasi kami adalah untuk memperjelas bukti permulaan sahih, wajib pencatatan rinci, dan bawa ke hakim maksimum 48 jam. Ini terkait dengan habeas corpus. Kami mengacu pada ICCPR Pasal 9 Ayat 1 dan 2, serta General Comment Nomor 38 dalam Body of Principle,” ucapnya.

Kedua, mengenai penahanan praperadilan.

Mugiyanto menilai Pasal 21 terlalu generik karena hanya menyebut adanya kekhawatiran melarikan diri.

“Rekomendasi kami adalah supaya diterapkan prinsip least restrictive measures dengan alternatif. Ada jaminan, wajib lapor, larangan bepergian, dan lain-lain sesuai dengan ICCPR Pasal 9 Ayat 3,” katanya.

Isu ketiga, soal alasan penahanan.

Ia menyoroti Pasal 22 yang menurutnya memuat alasan abstrak.

“Kami merekomendasikan supaya rumusannya dibuat lebih spesifik, terukur, dan dapat diverifikasi. Ini sesuai dengan Konvensi Anti Penyiksaan Pasal 2 dan 11,” ucapnya.

Keempat, evaluasi penahanan. Pasal 29 disebut hanya memuat evaluasi tanpa frekuensi yang jelas.

“Rekomendasi kami adalah adanya evaluasi periodik misalnya ditetapkan tiap 2 bulan, dengan kehadiran penasihat hukum. Ini sesuai dengan ICCPR Pasal 9 Ayat 3 dan General Comment No. 36,” kata Mugiyanto.

Kelima, tempat penahanan. Ia mengkritisi Pasal 31 yang tidak mengatur pemisahan tahanan praperadilan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan