Royalti Musik
Tujuh Pencipta Lagu Gugat Aturan Royalti ke Mahkamah Agung, Nilai LMKN Langgar UU Hak Cipta
Tujuh pencipta lagu ternama mengajukan uji materi terkait royalti dan keberadaan LMKN.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Alivio Mubarak Junior
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tujuh pencipta lagu ternama mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Royalti Lagu dan/atau Musik, serta Peraturan Menteri Hukum (Permenkum) Nomor 27 Tahun 2025 sebagai aturan pelaksanaannya.
Baca juga: Audiensi LMKN-Wamen Komdigi: Pemerintah Tegas Takedown hingga Blokir Platform Tak Patuh Aturan
Ketujuh pemohon tersebut adalah Ali Akbar, Eko Saky, Vien Adiyanti, Rento Saky, Ugie Uturia, Arie Zain, dan Enteng Tanamal yang juga menjabat sebagai Ketua Pembina Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Karya Cipta Indonesia.
Langkah hukum ini ditempuh karena kedua regulasi tersebut dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya mengenai keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dinilai tidak memiliki dasar hukum dan telah keluar dari tujuan pembentukan LMK.
Baca juga: Wawancara Eksklusif Menekraf Teuku Riefky: Royalti Musik Harus Adil, Ekraf Jadi Mesin Ekonomi Baru
Menurut mereka, LMKN justru menimbulkan kekacauan dalam sistem pengelolaan royalti, yang seharusnya dikelola oleh dan untuk para pencipta lagu, bukan lembaga di luar kendali pemilik hak cipta.
Salah satu pemohon, Eko Saky, pencipta lagu legendaris Jatuh Bangun menegaskan sejak awal pembentukan LMKN sudah tidak sesuai dengan amanat UU No. 28 Tahun 2014.
"LMKN sejak awal sudah tidak sesuai dengan UU Hak Cipta. Maka tidak heran jika dalam perjalanannya, lembaga ini justru menimbulkan banyak persoalan dan keresahan di kalangan pencipta lagu," kata Eko Saky di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Eko juga menyoroti proses penunjukan komisioner LMKN yang dilakukan Kementerian Hukum secara tertutup dan tergesa-gesa.
"Menteri menunjuk langsung komisioner tanpa proses yang terbuka. Lebih parah lagi, beberapa nama ternyata adalah staf khusus menteri yang kini merangkap jabatan sebagai komisioner LMKN," lanjut Eko.
Ia turut menyoroti adanya dugaan intervensi pejabat terhadap LMK.
"Saya mempertanyakan kehadiran sejumlah nama yang bukan dari pencita lagu atau pemusik bisa ditunjuk menjadi komisioner LMKN, seharusnya pemerintah hadir sebagai regulator dan pengawas, bukan sekaligus menjadi pelaku," jelas Eko.
Para pemohon juga mempersoalkan langkah LMKN menerbitkan Surat Edaran No. SE.06.LMKN.VIII-2025 yang mencabut kewenangan LMK untuk menarik dan menghimpun royalti.
Kata mereka, kebijakan ini sangat fatal karena menimbulkan kekacauan dalam ekosistem musik nasional.
Eko menyebut tindakan LMKN telah merusak tata kelola royalti.
"Pertama, para pencipta lagu kini hidup dalam kecemasan, tidak yakin apakah royalti mereka akan diterima tahun ini. Kedua, hubungan antara LMK dan para pencipta menjadi renggang. Ketiga, para pengguna lagu mulai dari rumah karaoke, kafe, pub, promotor hingga event organizer kini kebingungan harus berurusan dengan siapa," ungkapnya lagi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.