Trump Terapkan Tarif Timbal Balik
Guru Besar Ilmu Hukum Sebut Transfer Data Bukan Berarti Alihkan Pengelolaan Seluruh Data WNI ke AS
Pada era digital, mekanisme transfer data pribadi baik domestik maupun antarnegara sejatinya sudah berlangsung lama.
Penulis:
Wahyu Aji
Editor:
Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pandjajaran (Unpad) Prof Ahmad M Ramli menjelaskan, transfer data pribadi menjadi fenomena lumrah dan tak terhindarkan dalam transasi bisnis internasional.
Prof Ahmad dikenal luas sebagai pakar dalam bidang Cyber Law, Kekayaan Intelektual, dan Hukum Perdata Internasional.
Ia menyelesaikan pendidikan S1, S2, dan S3 Ilmu Hukum di UNPAD dengan predikat cum laude.
Menurutnya, di era digital, mekanisme transfer data pribadi baik domestik maupun antarnegara sejatinya sudah berlangsung lama.
Baca juga: Polemik Transfer Data WNI ke AS, Mayjen Purn Gautama Ingatkan Publik, UU PDP Punya Aturan Ketat
Prof Ramli menegaskan, transfer data pribadi ke Amerika Serikat (AS) tak hanya dilakukan Indonesia, namun sudah dilakukan negara lain.
Seperti, negara-negara Uni Eropa yang melindungi data pribadinya secara ketat juga sudah membuat kesepakatan terkait data pribadi dengan Pemerintah AS.
"Hal yang harus dipahami adalah, transfer data pribadi tak berarti kita mengalihkan pengelolaan seluruh data pribadi WNI kepada Pemerintah AS," tutur Prof Ramli kepada wartawan, Sabtu (26/7/2025).
Ia menambahkan, berkaca dari apa yang dilakukan Uni Eropa, mereka telah menjalin kesepakatan dengan AS dengan transaksi perdagangan senilai 7,1 triliun dolar.
Bahkan, Komisi Eropa telah mengadopsi 'EU-US Data Privacy Framework' (DPF) yang mulai berlaku sejak 10 Juli 2023.
Sementara, terkait kerja sama RI dengan Amerika, transfer data pribadi itu secara eksplisit disebut 'Move personal data out" dalam Fact Sheet (Lembar Fakta) Gedung Putih berjudul The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal.
Prof Ramli mengatakan, dalam lembar Fakta, secara jelas menyebut langkah menghapus Hambatan Perdagangan Digital antara Indonesia dan AS.
Poinnya adalah, Indonesia akan mempermudah transfer data pribadi ke AS dengan mengakui AS sebagai negara yang memiliki perlindungan data memadai di bawah hukum Indonesia.
Menurut Prof Ramli, hal ini merujuk pada mekanisme transfer data pribadi lintas negara secara kasus per kasus, untuk memastikan aliran data tetap sah dan terlindungi dalam era ekonomi digital.
Dirinya menegaskan, transfer data pribadi telah berlangsung di mana-mana. Misalnya, seseorang yang akan terbang ke New York dari Jakarta, maka akan terjadi transfer data pribadi yang bahkan bisa melibatkan bukan hanya satu negara. Belum lagi jika menggunakan maskapai yang berbeda.
Contoh lain, misalnya pengguna internet di Indonesia yang menurut data APJII 2025 sebanyak 221.563.479 jiwa juga telah memberikan data pribadinya ke berbagai platform digital global untuk diproses dan ditransfer antarteritorial dan yurisdiksi.
Pemberian data pribadi itu dilakukan mulai saat membuat akun email, Zoom, Youtube, WhatsApp, ChatGPT, Google Maps, atau lainnya.
Prof Ramli menegaskan, transfer data pribadi adalah keniscayaan. Menurutnya, tanpa proses ini, tidak akan ada layanan dan transaksi digital.
"Dengan kesepakatan RI-AS ini, maka pekerjaan rumah besarnya adalah bagaimana negara melakukan pengawasan, monitoring, dan evaluasi dan menegakan kepatuhan UU PDP. Tujuannya, agar transfer data ke mana pun di dunia, tetap dilakukan secara akuntabel dan patuh hukum," kata Prof Ramli.
Ia menambahkan, pekerjaan rumah pemerintah setelah adanya kesepakatan dengan AS ini adalah bagaimana mengawasi praktik transfer data pribadi ke berbagai negara agar patuh pada ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
“Dalam kaitan ini, Lembaga Pelindungan Data Pribadi berperan sangat strategis untuk menjalankan ketentuan UU PDP secara optimal. Pemerintah sebaiknya tak menunda lagi terbentuknya Lembaga PDP ini," ujar Prof Ramli.
Dalam bidang penelitian, Prof. Ramli memperoleh berbagai pengakuan internasional atas penelitian hukum pada berbagai bidang hukum seperti, riset mengenai E-Commerce, HAKI, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing (PMA), Perlindungan Hukum Konsumen, dan Hukum Siber.
Keahliannya dalam berbagai aspek hukum membawanya dipercaya sebagai ketua tim pemerintah dalam pembahasan berbagai RUU seperti, RUU Hak Cipta, RUU Merek, RUU Paten, RUU Keterbukaan Informasi Publik, RUU Tindak Pidana Pencucian Uang, yang semuanya telah diundangkan.
Saat ini Prof. Ramli menduduki posisi sebagai Dewan Pakar Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI) dan Arbiter pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
Diketahui, pemerintah Indonesia dan AS menyepakati perjanjian perdagangan timbal balik pada bulan Juli 2025.
Salah satu poin penting dalam kesepakatan tersebut adalah kemampuan untuk mentransfer data pribadi warga Indonesia ke AS sebagai bagian dari komitmen di bidang perdagangan digital, jasa, dan investasi.
Pemerintah menegaskan bahwa data yang ditransfer bukan data strategis atau milik pemerintah, melainkan data komersial dan data pribadi yang diunggah masyarakat saat menggunakan layanan digital seperti media sosial, e-commerce, dan sistem pembayaran.
Transfer ini bertujuan untuk memfasilitasi perdagangan digital dan bukan untuk pengelolaan data oleh pemerintah asing.
Regulasi dan Perlindungan
• Transfer data harus tunduk pada Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
• Negara tujuan (AS) wajib memiliki tingkat perlindungan data yang setara atau lebih tinggi dari Indonesia.
• Pemerintah sedang menyusun protokol perlindungan data lintas negara untuk memastikan tata kelola yang sah dan aman.
Trump Terapkan Tarif Timbal Balik
Nego Tarif Memanas, Trump Tuntut China Tingkatkan Pembelian Kedelai dari AS hingga 4 Kali Lipat |
---|
Trump Incar Negara Pembeli Minyak Rusia, India dan China dalam Bidikan |
---|
Ekonom Steve Hanke: Trump Sedang Hancurkan Dirinya Sendiri dengan Perang Tarif |
---|
Terkena Tarif Impor Amerika Sebesar 50 Persen, Sektor Padat Karya India Terancam |
---|
Tarif Impor Trump Mulai Diterapkan, Masyarakat Amerika Terkena Kenaikan Biaya 60 Persen |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.