Selasa, 2 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ironi Nadiem Makarim, CEO Ojol Memimpin Pendidikan, Semakin Amburadul!

Kebijakan Nadiem dituding mencekik hidup anak-anak sekolah dari keluarga yang tidak mampu, serta menjerumuskan mereka ke jurang depresi dan trauma.

Editor: Husein Sanusi
Dok. Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Menteri Pendidikan Nadiem Makarim 

Tahun 2019, ia mengatakan, "presiden selalu bilang link and match antara industri dan institusi pendidikan. Relevansi dari skill-skill tersebut yang kita pelajari harus relevan,".

Pendidikan tidak lagi dalam konteks nilai kebangsaan yang luas melainkan penyempitan ke arah kepentingan industri kapitalis.

Sejak Nadiem memimpin Kemendikbud, link and match dunia pendidikan hanya terjadi dalam kaitannya dengan dunia industri, termasuk bekerjasama dengan penyedia jaringan telekomunikasi selama pembelajaran di masa pandemi.

Sekali pun tertatih-tatih konsep itu disermpurnakan namun belum sepenuhnya link and match dengan realitas sosial-kultural bangsa.

Sangat memilukan seorang menteri baru mengerti realitas ketimpangan antara pusat dan pinggiran, antara kota dan desa.

Dalam satu kesempatan, di kuliah umum acara Musyawarah Nasional ke-5 Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia, Nadiem pernah mengatakan, “masa depan bangsa dilihat dari kualitas kaum penerus. semua anak lebih mahir menggunakan teknologi dibandingkan orang tua dan generasi di atas mereka,” (lpmpjatim.kemendikbud.go.id, 29/12/2010).

Pernyataan di atas sudah jelas disimpulkan dari pengalaman kasuistik, khususnya anak-anak yang hidup di kota-kota, keturunan keluarga kaya dan mampu, dan gadget menjadi pegangan harian mereka.

Sebagai seorang menteri tidak layak memiliki pikiran yang parsial, karena negara bukan milik segelintir orang. Hari ini bos Ojol ini baru sadar dan terpaksa mengakui bahwa ketimpangan daerah di Indonesia sangat jauh.

Ini baru dalam satu bidang saja, yakni menguji validitas hipotesis si menteri tentang integrasi dunia pendidikan dengan industri global berbasis teknologi.

Dia sudah mengakui kesulitan dan menerima kenyataan yang menyulitkan. Belum lagi kita bicara prinsip-prinsip pendidikan yang lebih luas.

Sekali lagi, sejak pendidikan sebuah bangsa yang besar dan beragam ini jatuh ke tangan Bos Ojol, semua cita-cita foundingfathers bangsa menjadi amburadul.

Mengingat Nadiem alumni pendidikan Amerika (Brown University dan Harvard Business School), masih bisa dimaklumi dirinya tidak paham realitas di negeri ini. Namun, sekali pun mau mengukur filosofi pendidikan versinya dengan ilmuan Barat sekali pun, tetap saja tidak bisa dimaklumi.

Bruce R. Joyce (1986) dalam bukunya Improving America’s Schools, yang diterbitkan Longman di New York, setidaknya sedikit memberikan gambaran umum pendidikan Amerika.

Pertama, ada yang disebutnya sebagai "Refinement", yakni menggagas dan mempersiapkan suatu proses, yang bisa dilakukan melalui tiga kegiatan; mengorganisasi semua pihak yang bertanggung jawab, menggunakan kriteria efektif sebelum memulai pendidikan, dan mengembangkan iklim sosial.

Nadiem bagaikan bermimpi di siang bolong, ketika mencita-citakan link and match antara pendidikan dan industri, sementara ia akui sendiri kesulitan untuk itu, dan terlebih realitas sejumlah daerah berjarak begitu lebar.

Halaman
123

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan