Sabtu, 23 Agustus 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Jokowi dan Kiprah Politiknya

Makna Lokasi, Hari dan Batik saat Pertemuan Ngarso Dalem Sri Sultan HB X dengan Jokowi 

Ini kata Roy Suryo soal pertemuan Jokowi dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X baru-baru ini.

tribunnews.com
Momen Jokowi bertemu Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, Rabu (15/1/2025). 

 Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes (*)

TRIBUNNERS - Sebenarnya saya tidak ingin mengomentari pertemuan yang sudah terjadi 2 (dua) hari lalu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Namun karena banyaknya Pertanyaan (baik melalui DM, Japri maupun Call langsung) ke saya selaku Kerabat Puro Pakualaman, salahsatu bagian dari "Catur Sagatra" Trah Kerajaan Mataram, maka tulisan ini dibuat agar bisa dimaknai secara komprehensif, Faktual dan Ilmiah.

Sedikit sebagai referensi pambuko atau prolog, dulu Kerajaan Mataram di Jawa wilayahnya luas dan pengaruhnya cukup besar di masyarakat, sehingga Pihak Penjajah merasa perlu untuk "memecah"-nya dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755. 

Awal dari munculnya ide perjanjian (pemecahan) ini adalah Pihak penjajah memanfaatkan konflik internal di dalam Kerajaan Mataram, utamanya pasca wafatnya Amangkurat IV. 

Konflik tersebut antara lain terjadi antara Sri Susuhunan Pakubowono III, Pangeran Mangkubumi (saudara Susuhunan) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa).

Penjajah mendukung Pakubuwono sebagai penguasa Mataram, meskipun sebagian besar wilayah kerajaan berada di bawah penguasaan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Sehingga Mangkubumi merasa tidak diperlakukan adil oleh Susuhunan dan Penjajah, sehingga memulai pemberontakan yang berlangsung selama hampir 10 tahun (1746–1755). 

Untuk mengakhiri konflik, dimediasi perundingan antara Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwono III. Hal ini menghasilkan Perjanjian Giyanti.

Bertempat di Desa Giyanti, Karanganyar, pada Hari Kamis Kliwon tanggal 13 Februari 1755 disepakati Perjanjian yang sangat bersejarah bagi masa depan Kerajaan Mataram.

Sebab, selanjutnya Mataram dipecah menjadi Kraton Kasunanan Surakarta di bawah Sunan Pakubuwana III dan Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di bawah Sri Sultan Hamengku Buwana I. 

Dalam perkembangan Tanggal 17/03/1757 Kasunanan menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, sementara Tanggal 17/031813 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat juga menjadi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman.

Meski sudah berjalan sendiri-sendiri selama lebih kurang 270 tahun, keempat bagian Kraton Mataram ini masih tetap eksis sampai dengan sekarang, dengan masing-masing Raja (asli) dan Adipatinya masing-masing, yakni Sri Susuhunan Paku Buwana XIII di Kraton Kasunanan Surakarta, Sri Sultan Hamengku Buwana X di Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Mangkunegara X di Pura Mangkunegaran dan Sri Paku Alam X di Pura Pakualaman. 

Secara khusus berdasarkan UU Keistimewaan DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) No 13/2012 Sri Sultan dan Sri Paku Alam langsung ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa memerlukan Pilkada.

Oleh karena itu kemarin dalam penerimaannya, Sri Sultan HB X bukan selaku Gubernur DIY (yangmana kalau beliau selaku Kepala Daerah Istimewa tersebut menerima tamu-tamunya di Kompleks Gedung Kepatihan Malioboro Yogyakarta) tetapi Sultan selaku Raja Jawa (asli) sesungguhnya dan menerima JokoWi di Kraton Kilen, Kompleks Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan