Selasa, 30 September 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ijazah Jokowi

Memang Beda, Ijazah Jkw Tak Boleh Difoto tapi Ijazah Mohammad Hatta Dipajang di Universitas Belanda 

Pembatasan akses awak media sebagaimana yang terjadi kemarin sore (Rabu, 16/04/25) di depan rumah bekas Presiden RI ke-7 Jokowi di kawasan Sumber Solo

|
Editor: Eko Sutriyanto
Dok Tribunnews.com
Dr KRMT Roy Suryo MKes,  Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen menyebut setidaknya dua kata ini sangat layak untuk diucapkan dari masyarakat yang masih waras ketika melihat prosedur pembatasan akses awak media di depan rumah bekas Presiden RI ke-7 JkW di kawasan Sumber, Solo, (Rabu, 16/04/25) . Wartawan diperkenankan masuk untuk melihat ijazah Jokowi namun dilarang memotret atau mengambil gambar  

Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes,  Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen

TRIBUNNEWS.COM - Aneh dan Mencurigakan, setidaknya dua kata ini sangat layak untuk diucapkan dari masyarakat yang masih waras ketika melihat prosedur pembatasan akses awak media sebagaimana yang terjadi kemarin sore (Rabu, 16/04/25) di depan rumah bekas Presiden RI ke-7 JkW di kawasan Sumber, Solo. 

Lengkapnya dapat dilihat di Kanal YouTube Liputan-6 SCTV youtu.be/tEwz85PSjmI berisi cerita seorang wartawan bernama Ichsan Nur Rosyid (INR), yang katanya sore kemarin para wartawan yang biasanya selalu standby di depan rumah tersebut dipanggil masuk namun dengan syarat bahwa di depan gerbang mereka diwajibkan untuk mengumpulkan semua kamera, HP dan segala jenis alat perekam elektronik terlebih dahulu.

Prosedur kemarin sebenarnya sangat ironis dan menyedihkan di era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi komunikasi sekarang ini, karena awak media dan pers masakini seharusnya aktual, faktual dan obyektif dalam memberitakan, disertai dengan bukti dokumentasi asli, baik berupa audio, foto maupun audio-visual (Video).

Moso wartawan kembali disuruh hanya melihat, menghafal dan menceritakan apa yang sangat terbatas diketahui hanya melalui panca indranya.

Apalagi jelas betul bahwa sesampainya di dalam para awak media tersebut sama sekali tidak diperbolehkan memotret dan hanya diperlihatkan sekilas saja.

Baca juga: Mahfud MD: Jika Ijazah Jokowi Terbukti Palsu, Keputusannya saat Jadi Presiden Tetap Sah, Tidak Batal

Ini sangat mengingatkan kita pada masa kelam Pers Indonesia jaman rezim Orde Baru di Indonesia (1966-1998), dimana selama era itu media mengalami banyak pembatasan dan kontrol.

Wartawan sering kali harus mengikuti prosedur ketat dan mendapatkan izin khusus untuk meliput acara tertentu.

Tidak jarang setelah terbit atau disiarkanpun masih ada tindakan pembreidelan bilamana pemberitaannya tidak sesuai dengan selera penguasa.

Tidak hanya di Indonesia, sebelum bersatu di negara Jeman Timur (1950-an hingga 1989): Di bawah rezim Komunis, media sangat dikontrol oleh negara, dan wartawan harus mematuhi prosedur ketat untuk meliput acara publik, sering kali tanpa perangkat rekaman. Juga di Uni Soviet, di era Stalin dan seterusnya, media mengalami sensor berat, di mana wartawan tidak diizinkan untuk meliput acara tertentu tanpa persetujuan dari otoritas. Mirip Indonesia sekarang? Wallahualam.

Seharusnya organisasi jurnalis Indonesia (PWI, AJI, IJTI, SPJ, AMSi, FWPI, PWOIN, dsb) melakukan protes keras terhadap perlakuan yang kemarin terjadi, karena hal tersebut selain tidak manusiawi juga membuat kualitas berita yang dihasilkan sangat jauh dari prinsip jurnalisme modern dan menjadi kental unsur subyektifnya karena hanya mengandalkan Persepsi dan Opini belaka, sangat berbahaya karena bisa memecah belah sesama anak bangsa. 

Jadi tanpa bukti Visual apapun, pengakuan wartawan INR dalam YouTube tersebut yangmana dia tidak bisa memastikan apakah Ijazah yang diperlihatkan JkW sama dengan yang selama ini beredar di MedSos atau tidak, dia hanya bisa menjawab "sangat mirip" (?).

Namun kesaksian ini tidak punya arti apa-apa karena tanpa bukti dan hanya sekualias obrolan warung kopi saja.

Bahkan ketika dia menanyakan kepada JkW soal Kacamata, malah dijawab saat itu: "karena minusnya sedikit maka ketika pecah akhirnya sudah nggak dipakai lagi", sebuah jawaban konyol.

Ironisnya, beberapa jam sebelumnya perwakilan masyarakat yang diantaranya adalah Tim Pemburu Ijazah Palsu JkW dan TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) malah tidak diperbolehkan melihat bentuk Ijazah tersebut dan malah seperti ditantang untuk bertemu di Pengadilan kalau mau melihatnya, karena JkW sendiri yang mengatakan hanya mau memperlihatkan kalau diperintah oleh Pengadilan atau keputusan hukum. 

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan