Selasa, 28 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Setahun Pemerintahan Prabowo dan Tantangan Kepemimpinan yang Humanistik

Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi momentum penting dalam perjalanan politik dan manajerial bangsa Indonesia.

|
Editor: Choirul Arifin
Istimewa
PRABOWO ULANG TAHUN - Momen acara syukuran ulang tahun ke-74 tahun Presiden Prabowo Subianto yang digelar di Istana Negara, Jakarta, Jumat (17/10/2025). 

Setahun Prabowo dan Tantangan Kepemimpinan Humanistik di Era Digital

Oleh: Odjie Samroji. mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen di Universitas Negeri Surabaya.

SATU TAHUN pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi momentum penting dalam perjalanan politik dan manajerial bangsa. Pemerintahan ini berlari cepat di tengah arus revolusi digital yang terus mengubah wajah birokrasi, ekonomi, dan pertahanan nasional. 

Dari penerapan kecerdasan buatan dalam sistem pertahanan, optimalisasi big data dalam pengawasan kebijakan, hingga program efisiensi birokrasi berbasis teknologi, arah kepemimpinan nasional kini ditandai oleh semangat modernisasi dan percepatan.

Namun di balik laju digitalisasi itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah kemajuan teknologi yang dikelola negara juga berorientasi pada nilai kemanusiaan?

Apakah kebijakan publik yang makin otomatis dan efisien itu tetap berpihak pada rakyat sebagai manusia, bukan sekadar data statistik?

Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita pada diskusi yang lebih dalam: bagaimana wujud kepemimpinan yang humanistik di era digital seperti sekarang?

Paradoks Digital dan Tantangan Kepemimpinan

Era digital membawa efisiensi luar biasa, tetapi juga menimbulkan paradoks baru. Ketika keputusan politik dan ekonomi makin ditopang oleh algoritma dan kecerdasan buatan, tanggung jawab moral pemimpin justru menghadapi ujian.

Di satu sisi, teknologi memudahkan pemimpin mengontrol, memantau, dan merencanakan kebijakan. Namun di sisi lain, terlalu bergantung pada data dapat menumpulkan empati dan mengaburkan nurani.

Inilah yang disebut para ahli sebagai dehumanisasi digital—ketika manusia dipandang bukan sebagai subjek bermartabat, melainkan sekadar objek produktif dalam sistem yang rasional dan efisien.

Dalam konteks kepemimpinan, bahaya dehumanisasi muncul ketika rakyat hanya dilihat sebagai angka dalam laporan makroekonomi, bukan sebagai manusia dengan nilai, kebutuhan, dan perasaan.

Presiden Prabowo dalam satu tahun kepemimpinannya menunjukkan gaya yang tegas, cepat, dan penuh visi nasionalisme. Namun di era digital, ketegasan saja tidak cukup.

Diperlukan kebijaksanaan etis untuk menyeimbangkan antara smart governance dan wise leadership—antara kecerdasan sistem dan kebijaksanaan moral.

Baca juga: 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, CELIOS Sebut 3 Hal Harus Jadi Evaluasi

Dalam teori manajemen modern, pendekatan yang disebut Humanistic Digital Management (HDMM) menawarkan kerangka baru bagi kepemimpinan nasional di era teknologi. Paradigma ini berpijak pada tiga pilar utama: kepemimpinan etis, etika digital, dan budaya humanistik.

Pertama, kepemimpinan etis menempatkan pemimpin sebagai agen moral. Keputusan diambil bukan semata berdasarkan rasionalitas ekonomi, tetapi juga nilai keadilan dan kemanusiaan.

Dalam konteks pemerintahan, ini berarti setiap kebijakan publik harus mengutamakan kesejahteraan manusia di atas kepentingan politik jangka pendek.

Baca juga: Pemerintahan Prabowo Lanjutkan Pembangunan Jalan Trans Papua

Kedua, etika digital berfungsi sebagai pagar moral bagi inovasi teknologi. Pemerintah yang memanfaatkan big data, kecerdasan buatan, atau pengawasan digital wajib menjunjung prinsip transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan privasi warga.

Tanpa etika, digitalisasi bisa berubah menjadi bentuk baru otoritarianisme berbasis data—di mana rakyat dipantau tanpa ruang privasi dan keputusan diambil tanpa dialog moral.

Ketiga, budaya humanistik dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi fondasi penting. Birokrasi yang sehat bukan hanya yang cepat dan efisien, tetapi yang menghormati martabat pegawainya dan melayani masyarakat dengan empati.

Di sinilah kepemimpinan humanistik diuji: apakah struktur pemerintahan mampu menciptakan lingkungan kerja yang berkeadaban, atau justru terjebak dalam mekanisme mekanistik yang menekan dimensi manusiawi?

Dari sudut filsafat ilmu, paradigma kepemimpinan humanistik dapat dipahami melalui tiga dimensi utama: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Secara ontologis, manusia dalam konteks pemerintahan digital bukan sekadar sumber daya pembangunan, tetapi subjek moral yang memiliki martabat.

Negara, karena itu, harus memperlakukan rakyat bukan sebagai instrumen kebijakan, melainkan sebagai tujuan akhir kebijakan itu sendiri.

Secara epistemologis, kebijakan publik yang efektif tidak hanya lahir dari data dan algoritma, tetapi juga dari kebijaksanaan yang bersumber pada pengalaman, empati, dan dialog sosial.

Pemerintah yang hanya mengandalkan data besar (big data) tanpa big wisdom akan kehilangan arah moral dalam pengambilan keputusan. Sementara secara aksiologis, tujuan dari kepemimpinan nasional adalah kebaikan bersama (common good).

KUNJUNGAN KENEGARAAN - Presiden Prabowo Subianto bersama Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa meninggalkan ruangan usai menyampaikan keterangan kepada wartawan dalam kunjungan kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (22/10/2025). Pertemuan kedua pemimpin negara tersebut membahas isu-isu global dan bilateral, terutama di sektor ekonomi dan keamanan. Tribunnews/Jeprima
KUNJUNGAN KENEGARAAN - Presiden Prabowo Subianto bersama Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa meninggalkan ruangan usai menyampaikan keterangan kepada wartawan dalam kunjungan kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (22/10/2025). Pertemuan kedua pemimpin negara tersebut membahas isu-isu global dan bilateral, terutama di sektor ekonomi dan keamanan. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/Jeprima)

 

Dalam konteks Prabowo, visi besar tentang kedaulatan pangan, pertahanan nasional, dan kemandirian ekonomi harus tetap berakar pada nilai kemanusiaan: bagaimana kebijakan itu benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar memperkuat struktur kekuasaan.

Setahun Refleksi: Dari Efisiensi ke Empati

Setahun pemerintahan Prabowo adalah momentum refleksi untuk menilai apakah arah kepemimpinannya telah bergerak dari efisiensi ke empati. Dalam berbagai pidato, Presiden kerap menekankan pentingnya disiplin, loyalitas, dan nasionalisme.

Nilai-nilai itu memang menjadi pilar penting kepemimpinan strategis. Namun dalam konteks manajemen humanistik, diperlukan tambahan dimensi: empati moral.

Empati bukan kelemahan dalam kepemimpinan, melainkan bentuk tertinggi dari kekuatan moral. Ia menjadi jembatan antara kekuasaan dan kemanusiaan, antara kebijakan dan hati rakyat.

Dalam dunia yang semakin digital, empati justru menjadi pembeda utama antara pemimpin sejati dan sistem yang dingin tanpa jiwa.

Kepemimpinan yang humanistik tidak berarti lemah terhadap teknologi, tetapi justru mampu menundukkan teknologi di bawah nilai-nilai moral. Seperti kata filsuf Michael Sandel, “Tidak semua yang bisa dijual seharusnya dijual.” 

Dalam konteks kepemimpinan nasional, tidak semua yang bisa didigitalisasi seharusnya dilakukan—terutama bila itu mengorbankan nilai manusia dan kebebasan sosial.

Setahun Prabowo memimpin adalah tahun pembelajaran besar bagi bangsa.

Pemerintahan ini telah menunjukkan arah baru: cepat, tegas, dan berbasis data. Namun, agar visi itu menjadi berkelanjutan, dibutuhkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar efisiensi: yaitu kebijaksanaan moral.

Indonesia tidak hanya membutuhkan smart government, tetapi juga wise leadership. Kepemimpinan yang memadukan rasionalitas teknologi dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Kepemimpinan yang memahami bahwa di balik setiap angka statistik ada wajah manusia, di balik setiap kebijakan ada nilai moral, dan di balik setiap kemajuan digital ada tanggung jawab etis.

Di abad algoritma ini, teknologi memang mempercepat segalanya tapi hanya moralitas yang mampu memberi arah. Dan di situlah tantangan terbesar Presiden Prabowo: bukan sekadar memimpin dengan kekuatan, tetapi memimpin dengan kebijaksanaan.

Catatan tentang Penulis:

Odjie Samroji sebelumnya pernah menulis beberapa artikel di beberapa jurnal dan media, antara lain:

Mei 2024: Peningkatan Penerimaan Santri Baru Berbasis Digital Marketing dan Inovasi Layanan Dengan ICT Literacy Sebagai Variabel Mediasi (Study Empiris Pada Pondok Pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS Yogyakarta), dimuat di PQDT-Global.

Juni 2024: Increasing the Acceptance of New Santri with Digital Marketing and Service Innovation through ICT Literacy at Muhammadiyah Boarding School Yogyakarta dimuat di Advances in Social Humanities Research.

2024: Optimalisasi Maqashid Syariah Pada Perbankan Syariah Melalui Islamic Intellectual Capital dan Islamic Corporate Governance, dimuat di Jurnal of Syntax Literate.

Penulis juga pernah menulis beberapa judul buku diantaranya:

1. Cara Dahsyat Menjadi Guru Hebat diterbitkan Diandra (ISBN 978-623-240-011-5)

2. Berani Bermimpi, diterbitkan Diandra (Diandra ISBN: 978-602-225-505-5)

 

 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email redaksi@tribunnews.com

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved