Rabu, 27 Agustus 2025

Beras Oplosan

Beras Medium Dijual Sebagai Premium, Pengujian Lab Tunjukkan Ketimpangan Mutu

Sampel beras tersebut meliputi, satu kemasan lima kilogram merk SLYP Rojolele berisi beras kualitas medium, yang dibeli di toko IJ, Pasar Induk Beras

Ibriza/Tribunnews
BERAS OPLOSAN - Beras yang diduga hasil oplosan akan dikemas menggunakan karung-karung ukuran 5 kilogram. (Ibriza/Tribunnews) 

- Butir Merah: 0,00 % 

- Kadar Air: 12,30 % 

- Derajad Sosoh: 99,00 %

3. Beras Sentra Pulen 

- Supermarket di kawasan Rancho, Jagakarsa, Jakarta Selatan

- Butir Kepala: 80,47 % 

- Butir Patah: 19,31 % 

- Butir Menir: 0,32 % 

- Butir Gabah: 0,00 % 

- Benda Asing: 0,00 % 

- Butir Rusak: 0,06 % 

- Butir Kapur: 0,12 % 

- Butir Merah: 0,25 % 

- Kadar Air: 12,15 % 

- Derajad Sosoh: 95,00 %

4. Beras 1 Liter Harga Rp12 Ribu 

- Toko Beras di Pasar Kramat Jati

- Butir Kepala: 64,59 % 

- Butir Patah: 28,92 % 

- Butir Menir: 6,15 % 

- Butir Gabah: 0,00 % 

- Benda Asing: 0,00 % 

- Butir Rusak: 0,39 % 

- Butir Kapur: 1,07 % 

- Butir Merah: 0,03 % 

- Kadar Air: 13,11 % 

- Derajad Sosoh: 95,00 %

Sementara itu, aturan persyaratan label kemasan beras berdasarkan Peraturan Badan Pangan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras diatur pada Bab III Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

Adapun pada Pasal 10 Ayat (2), berbunyi: "Ketentuan mengenai pencantuman Label tidak berlaku bagi Beras yang dikemas di hadapan pembeli".

Pantauan Tribunnews.com, dalam proses pengumpulan atau pembelian sampel beras SLYP Cap Bunga dan SLYP Rojolele di toko IJ, Pasar Induk Beras Cipinang, karyawati toko beras tersebut tampak mengambil karung ukuran lima kilogram baru atau dalam kondisi kosong, yang kemudian dimasukkan pada karung bertuliskan SLYP Cap Bunga beras kualitas mutu premium dan pada karung bertuliskan SLYP Rojolele beras kualitas mutu medium.

Demikian juga dengan beras satu liter harga Rp12 ribu yang dibeli di salah satu toko beras di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur. 

Seorang pria pemilik toko memasukkan beras yang sudah ditakar dengan alat takar ukuran satu liter dan kemudian beras tersebut dituang ke dalam kantong plastik warna putih.

Sedangkan, untuk Beras Setra Pulen yang dibeli di salah satu supermarket di Rancho, Jagakarsa, Jakarta Selatan, beras telah dikemas pada kemasan untuk ukuran berat lima kilogram yang diletakkan pada sebuah rak.

Beras Oplosan Jadi Tanda Lemahnya Pengawasan Standar Mutu

Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian merespons soal hasil investigasi Kementerian Pertanian soal peredaran 212 merek beras yang diduga tidak memenuhi standar mutu, takaran, dan harga eceran tertinggi (HET).

Eliza menilai, temuan adanya 85,56 persen beras premium dan 88,24 persen beras medium tidak sesuai regulasi menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap standar mutu. 

Selain itu, ia mengatakan, praktik oplosan yang dianggap "biasa" di pasar-pasar induk mengindikasikan normalisasi pelanggaran, yang menunjukkan kegagalan dalam sistem pengawasan pasar dan rendahnya risiko hukuman bagi pelaku. 

"Jadi memang perlu efek jera, misal mencabut izin usaha atau denda berkali-kali lipat," kata Eliza, saat dihubungi, Kamis (26/6/2025).

Eliza kemudian menuturkan, praktik oplosan yang marak dapat mengurangi kepercayaan konsumen terhadap pasar beras dan institusi pengawas. 

Hal ini, menurutnya, dapat memicu keresahan sosial karena beras merupakan komoditas yang "sensitif", sebab bisa menentukan stabilitas ekonomi sosial.

Selain itu, katanya, pasar beras di Indonesia cenderung oligopolistik di tingkat distribusi dan ritel, dimana margin keuntungan terbesar diserap di middleman rantai distribusi, sementara keuntungan yang didapatkan petani sendiri tidak sampai  40 persen dari nilai tambah produk tersebut.

Tak hanya itu, Eliz menyoroti, kejadian adanya beras oplosan mencerminkan kegagalan pasar yang disebabkan oleh asimetri informasi antara pedagang dan konsumen. 

Ia mengatakan, di satu sisi konsumen tidak memiliki akses penuh terhadap informasi mengenai kualitas, komposisi, atau asal-usul beras yang mereka beli. Hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan pedagang.

"Nah pedagang yang melakukan praktik oplosan pun itu memanfaatkan ketidaktahuan konsumen dan ketiadaan traceability ini untuk memaksimalkan keuntungan. Hal ini membuat konsumen membayar harga premium untuk produk yang tidak sesuai dengan kualitas yang dijanjikannya. Ini konsumen dirugikan banyak," jelasnya.

Lebih lanjut, menurut Eliza, solusi untuk permasalahan tersebut, satu di antaranya bisa dengan menindak tegas pelaku kejahatan dengan sanksi yang jelas dan efek jera.

Selain itu, perlunya reformasi rantai pasok, dalam hal ini memperpendek rantai pasok dengan mendorong penjualan langsung dari petani ke konsumen.

Kemudian, lanjutnya, untuk perlindungan konsumen beras premium dan medium membutuhkan sertifikasi mutu dan pelabelan transparan. 

"Adanya sertifikasi ini akan meningkaktkan traceability sehingga konsumen tau beras yang mereka konsumsi ini berasal darimana dan ditanam oleh petani siapa dengan metode seperti apa. Jadi konsumen tidak dirugikan, membeli barang sesuai kualitasnya," pungkas Eliza.

Berita Terkait

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan