Kamis, 18 September 2025

Serikat Pekerja Minta Pemerintah Deregulasi PP 28/2024, Khawatir Terjadinya PHK Massal

Regulasi tersebut dinilai mengancam kesejahteraan buruh yang selama ini menggantungkan hidupnya di sentra produksi tembakau nasional. 

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
TEMBAKAU - Petani menyortir tembakau di Gudang Tembakau Empatlima, Klaten, Jawa Tengah. Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur Industri Hasil Tembakau (IHT) kembali menuai kritik dari kalangan pekerja. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur Industri Hasil Tembakau (IHT) kembali menuai kritik dari kalangan pekerja.

Lantaran regulasi tersebut dinilai mengancam kesejahteraan buruh yang selama ini menggantungkan hidupnya di sentra produksi tembakau nasional. 

Sejumlah pokok persoalan yang dipermasalahkan di antaranya adalah:

  • Pelarangan iklan dan penyeragaman kemasan: Produk tembakau diwajibkan menggunakan kemasan polos tanpa identitas merek, yang dinilai bisa mendorong peredaran rokok ilegal.
  • Pembatasan radius penjualan: Aturan ini membatasi distribusi produk tembakau, sehingga mengganggu rantai pasok dan penjualan.
  • Minimnya pelibatan publik: Proses penyusunan PP dianggap tidak transparan dan tidak melibatkan pelaku industri, petani, dan buruh

Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Jawa Tengah, Subaan Abdul Rahman meminta pemerintah melakukan deregulasi pasal-pasal terkait tembakau dalam PP 28/2024. 

Subaan mengidentifikasi 3 dampak utama yang dikhawatirkan muncul akibat kebijakan ini. 

Di antaranya penurunan produksi rokok legal, melemahnya daya beli masyarakat, dan meningkatnya peredaran rokok ilegal.

"Oleh karena itu, sudah seharusnya peraturan yang memberatkan seperti pasal-pasal tembakau di PP 28/2024 itu dibatalkan,” kata Subaan dalam keterangannya, Selasa (29/7/2025).

Ia juga menyoroti efek domino dari beberapa ketentuan dalam PP 28/2024, seperti larangan penjualan dalam radius 200 meter dan larangan iklan rokok di media luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta rencana penyeragaman kemasan pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). 

Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya akan memukul industri tembakau, tetapi juga berdampak luas terhadap petani tembakau, pekerja, dan pengusaha UMKM di sektor hilir.

Gambaran kekhawatiran ini menjadi penting mengingat belum lama ini Jawa Tengah terkena badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang besar dengan kasus PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). 

Putusan Pengadilan Negeri Niaga Semarang menyatakan perusahaan itu pailit dan membuat 10.969 orang kehilangan pekerjaan pada Maret lalu.

PHK massal ini juga berdampak pada ekonomi wilayah sekitar pabrik, termasuk hilangnya mata pencaharian bagi pedagang, pemilik kos, dan pelaku usaha kecil lainnya di sekitar pabrik.

Lebih lanjut, Subaan mengingatkan tentang kondisi peredaran rokok ilegal yang semakin luas.

Berdasarkan data, jumlah rokok ilegal yang berhasil ditindak melonjak dari 253,7 juta batang pada 2023 menjadi 710 juta batang pada 2024. Ia menilai tren ini menjadi bukti bahwa kebijakan yang terlalu menekan industri legal justru membuka ruang bagi pasar gelap.

“Ini nanti saya akan usulkan di pimpinan pusat agar Bea Cukai atau Menteri Keuangan, supaya rokok ilegal itu nanti benar-benar bisa diberantas, dan kita dari Serikat Pekerja juga siap membantu kalaupun perlu bantuan seperti itu,” ungkapnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan