Rabu, 17 September 2025

Jubir Kemenperin: PHK saat ini, Residu Kebijakan Relaksasi Impor Sebelumnya

Jubir Kemenperin mengatakan narasi mengenai dominasi PHK di sektor industri manufaktur perlu dilihat secara lebih proporsional

Editor: Sanusi
dok Kemenperin
SANGGAH PERNYATAAN - Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri membantah dengan tegas terhadap pernyataan yang menyebutkan bahwa badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih terjadi di sektor industri manufaktur. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perindustrian membantah dengan tegas terhadap pernyataan yang menyebutkan bahwa badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih terjadi di sektor industri manufaktur. 

Sanggahan ini disampaikan sebagai respons atas pernyataan Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani dan data dari Kementerian/Lembaga lain.

Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief menyatakan narasi mengenai dominasi PHK di sektor industri manufaktur perlu dilihat secara lebih proporsional, didukung data yang akurat dan analisis serta penjelasan lebih komprehensif. Beberapa subsektor industri memang mengalami pengurangan tenaga kerja, itu lantaran disebabkan karena residu kebijakan relaksasi impor sebelumnya sehingga produk impor murah membanjiri pasar domestik.

Baca juga: Serikat Pekerja Minta Pemerintah Deregulasi PP 28/2024, Khawatir Terjadinya PHK Massal

Febri mengatakan, penting untuk digarisbawahi bahwa PHK tersebut tidak mencerminkan kondisi umum sektor industri. Banyak sektor lain seperti jasa dan perhotelan yang juga mengalami PHK dalam skala besar, namun tidak mendapat sorotan yang seimbang.

"Hemat kami, bu Shinta (Apindo) termasuk pendukung terbitnya kebijakan relaksasi impor yang terbit pada bulan Mei 2024 sehingga mengakibatkan pasar domestik banjir produk impor murah, menekan utilisasi industri dalam negeri dan pengurangan tenaga kerja. Residu kebijakan tersebut telah dirasakan hingga saat ini seperti “badai PHK” yang dia ungkapkan pada publik,” ujar Febri, Selasa (29/7/2025).

Penegasan ini juga diperkuat oleh data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, yang menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan mengalami penurunan karena aktivitas industri melemah karena banjirnya produk impor murah di pasar domestik. Per Februari 2025, jumlah tenaga kerja sektor industri tercatat 19,60 juta orang, turun dibandingkan pada Agustus 2024 sebanyak 23,98 juta orang. Ini terjadi sejak pemberlakuan kebijakan relaksasi impor sampai sekarang.

Baca juga: Sebut Daya Beli Rakyat Semakin Melemah, DPR Pertanyakan Janji Prabowo-Gibran di Sektor Ekonomi

Artinya, kata Febri, sektor industri mengalami tekanan yang berat akibat dampak regulasi terkait relaksasi impor, sehingga terpaksa untuk melakukan PHK, terutama pada sektor padat karya seperti industri tekstil dan alas kaki. Inilah bukti dampak pemberlakuan kebijakan relaksasi impor produk murah tersebut.

Febri menambahkan, indikator kinerja industri justru menunjukkan tren yang positif, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja. Berdasarkan data Sistem Informasi Industri Nasional (SIINas), pada semester I tahun 2025, tercatat sebanyak 1.641 perusahaan melaporkan sedang membangun fasilitas produksi baru dengan nilai investasi mencapai Rp 803,2 triliun.

Tenaga kerja yang terserap pada industri baru dibangun tersebut diperkirakan mencapai 3,05 juta orang. Angka ini jelas jauh lebih besar dari jumlah PHK yang disampaikan oleh Kementerian lain ataupun asosiasi pengusaha.

Begitu juga dengan produksi manufaktur pada Juni 2025 juga menunjukkan kinerja ekspansif. Berdasarkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kemenperin, pada bulan Juni 2025 IKI mencapai 52,50 yang berarti lebih dari 50 persen industri menyatakan bahwa kinerja mereka lebih baik dari bulan sebelumnya serta penyerapan tenaga kerjanya. Kinerja industri berorientasi ekspor dan pasar domestik juga ekspansif yang ditunjukkan masing-masing oleh IKI Ekspor sebesar 52,19, dan sektor domestik 51,32. Ekspansifnya tiga indikator kinerja manufaktur berarti permintaan, produksi dan penyerapan tenaga kerja industri manufaktur pada tingkat lebih baik dari bulan-bulan sebelumnya.

“Data ini membuktikan bahwa sektor manufaktur nasional tidak sedang mengalami kontraksi seperti yang diungkap pada publik melainkan terus bertumbuh dengan kehadiran fasilitas produksi baru dengan menyerap tenaga kerja lebih besar lagi,” tegasnya.

Lebih lanjut, Febri optimistis bahwa serapan tenaga kerja di sektor industri, terutama industri padat karya akan terus meningkat ke depan. Optimisme ini didukung empat hal.

Pertama, pemerintah telah menerbitkan revisi kebijakan relaksasi impor atau Permendag 8 tahun 2024. Meski kebijakan ini berlaku dalam waktu dua bulan kedepan namun, semangatnya telah ditangkap oleh industri dalam negeri terutama industri yang berorientasi pasar domestik. Kebijakan ini diharapkan mengendalikan volume produk impor murah ke pasar domestik dan kembali mendongkrak utilisasi produksi serta penyerapan tenaga kerja terutama pada industri padat karya. 

Kedua, Kemenperin telah merampungkan proses harmonisasi antar Kementerian terkait Rancangan Permenperin KIPK (Kredit Industri Padat Karya). Permenperin akan diterbitkan bersamaan dengan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) yang juga masih dalam proses. Dengan Permenperin ini maka sekitar 2.722 perusahaan industri pada karya berpeluang akan dapat menikmati insentif ini dan membantu mereka menahan untuk tidak melakukan PHK terhadap tenaga kerjanya, meningkatkan utilisasi produksi, dan daya saing produknya.

Ketiga, dampak dua kesepakatan dagang bersejarah yang dicatat oleh Presiden Prabowo, yakni kesepakatan dagang Indonesia-Amerika dan kesepakatan dagang Indonesia-Uni Eropa. Berkat dua kesepakatan dagang ini telah menggairahkan industri dalam negeri terutama industri yang berorientasi ekspor.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan